“Bapak Proklamator kita, Bung Karno, pernah berpesan dengan kata yang
tegas: JAS MERAH! Yup, kita, jangan sekali-sekali melupakan sejarah!”
Namun, apakah sejarah yang kita
ketahui selama ini cuma didapatkan dari pengajaran oleh guru-guru maupun lewat
tulisan berjilid? Ya, sebenarnya sejarah itu lebih luas. Ditambah lagi, diramu
dengan kearifan luhur dari para pendahulu di masa silam—yang kini mencoba untuk
membumikan kembali lewat berbagai cara.
Ya, bisa dilihat sendiri, keadaan
bangsa kita seperti apa pada era digital ini. Kekinian, emang sih, tapi saya lihat Indonesia lagi kehilangan arah dan
sebagian jati dirinya yang mestinya, menguatkan diri menjadi bangsa yang
beradab dan punya kekhasan di dunia, seperti zaman nenek moyang dahulu.
Nah, apa harus balik lagi lewat
catatan lama, lalu berpikir ke belakang? *ehem*
***
Dahulu kala, di kepulauan
Nusantara yang indahnya bagaikan nirwana, datanglah segerombolan orang dalam
jumlah besar, yang merupakan leluhur awal bangsa kita. Mereka, sudah
mengembangkan kebudayaan dan teknologi yang bermacam-macam, dan seiring
berjalannya waktu, mereka telah melahirkan mahakarya yang amat agung pada
zamannya. Sebut saja Candi Borobudur, Keris, dan Kapal Jung yang sanggup
belajar sampai belahan dunia yang jauh, sampai sebatas permainan tradisional
penuh makna yang dimainkan anak-anak pada masa lalu.
Tapi, pencapaian hebat leluhur
kita tak terbatas sampai di situ. Sampai dalam kehidupan sehari-hari pun, nenek
moyang orang Indonesia mengajarkan nilai-nilai luhur—yang untungnya,
diselamatkan melalui ideologi dan dasar negara yang jadi pegangan kita,
Pancasila. Dan lagi, mereka mengajarkan sesuatu dengan mengibaratkan sebagai
manusia sebagai simbol, ya biar bisa memperlakukan dengan baik. Ingat istilah “ibu
bumi” atau “ibu pertiwi” ‘kan? Nah, maksudnya biar kita lebih merawat bumi dan
seisinya, dengan semestinya.
Dengan seabrek kebudayaan dan
nilai dari leluhur Tanah Air kita pada
masa lampau yang sebegitu tingginya, diriku baru sadar, nenek moyang kita
memang JENIUS.
Dan saking tingginya budaya kita—yang
membentuk jati diri, akhirnya negara mengabadikan hal itu lewat simbol dan
lambang yang dipergunakan sampai saat ini. Bendera merah putih yang merupakan
warisan Majapahit, lambang negara Garuda yang terpengaruh budaya India lewat
kerajaan kuno Hindu-Buddha di Nusantara, dan tentu saja, mata uang kita,
Rupiah.
Tapi....
Apa itu bisa mengembalikan semua
kearifan leluhur yang tumbuh di bumi Nusantara, pada masa kini?
Ternyata, itu belum semuanya yang
berhasil bertahan!
Hmmm, diriku teringat, kala
pemerintah berulang kali berpesan pada kita semua: “Lestarikan budaya bangsa, biar tidak punah”. Dan akhirnya, ada banyak orang yang mengembangkan kekayaan budaya lewat kebaya
modern, fashion batik, minuman tradisional kekinian, dan lain sebagainya. Lalu,
masih ada generasi muda yang belajar tari-tarian, musik tradisional untuk
berbagai kegiatan.
Tapi, kita harus sadar, bangsa
kita ini belum apa-apanya! Bahkan, kita harusnya belajar lebih banyak lagi dari
kearifan nenek moyang kita dan mau menggalinya lebih dalam, biar kita nggak sok
pintar dan jagoan di hadapan leluhur yang mewariskan kearifan itu.
Nah, bisa dibuktikan sendiri, peristiwa
gempa bumi 6,9 SR yang terjadi di Banten awal Agustus lalu, memberi pelajaran,
bahwa kita harus kembali ke kearifan pendahulu kita. Mereka sejak dulu paham
kok, kepulauan Nusantara ini rawan gempa. Makanya, mereka membangun rumah adat –di
berbagai daerah yang bermacam-macam bentuknya—yang memang dirancang ramah
dengan alam dan tahan gempa, dengan konstruksi yang canggih pada zamannya.
Tapi, bagi anak muda kekinian, hal-hal semacam itu ‘kan dah kuno
banget!
Nah, itu masalahnya! Kita ini
masih saja dihinggapi oleh sisa-sisa kolonial; bermental inlander. Dulunya, kolonial Belanda mendoktrin pribumi sebagai
warga kelas bawah dan layak menjadi budak mereka, sehingga berdampak pada
keturunannya: kita menganggap dari luar itu lebih baik, lebih hebat, tapi, itu
belum tentu sesuai dengan budaya bangsa Indonesia, bukan?
Karena itulah, mumpung dalam
bulan Kemerdekaan RI ke-74, kita harus merdeka dari hal-hal yang merusak jati
diri bangsa kita. Walaupun kita belajar hal-hal yang baik dari luar, jangan
lupa, kembali apa yang diajarkan pendahulu kita, termasuk di dunia pendidikan.
Dulu, Ki Hadjar Dewantara punya metode pembelajaran yang menyenangkan, yang
cocok untuk kita, tapi sayangnya nggak
dimanfaatkan oleh bangsa sendiri dan sistem pendidikan berjalan tanpa arah. Memprihatinkan.
Dan, nenek moyang telah mengajarkan pada kita, apa yang datang dari luar, mereka memilah, mana yang terbaik dan cocok dengan budaya mereka. Nah, harusnya yang hidup di era teknologi, harus belajar apa yang dilakukan leluhur kita; memilah budaya asing dan menyaringnya sesuai kultur kita. apalagi soal hoaks, harusnya harus lebih cerdas lagi, memilah informasi yang ada, mana yang benar, mana yang merupakan kabar bohong, ya 'kan?
Salam hangat dan sampai jumpa lagi!