Semenjak tahu kabar
bahwa kota Palembang jadi tuan rumah Asian Games 2018 bersama Jakarta, aku bermimpi
dalam empat tahun mendatang, akan menyaksikan pertandingannya di kota
kelahiranku sendiri!
Dan sekarang, kalau
diingat-ingat lagi, rasanya mimpiku itu benar-benar menjadi nyata, ya.
Alhamdulillah.
Awal mulanya, aku baru benar-benar merasakan kebanggaan jadi
tuan rumah justru pas jadi tuan rumah SEA Games 2011 di mana Palembang ditunjuk
jadi tuan rumah. Kenapa nggak saat jadi tuan rumah Piala Asia 2007 dan Asian
Beach Games 2008? Aku mah apa atuh, aku waktu itu nggak begitu mengerti sama
dunia olahraga, apalagi pas perhelatan ABG itu yang ku lihat sekilias saja.
Dan semenjak tahu itu, hatiku pasti bangganya setengah mati.
Seneng? Pastinya dong yaaah, kota kelahiranku jadi sorotan internasional.
Bahkan, aku sempat berlebaran dan mengunjungi Palembang yang cuma sebentar itu,
dan langsung melihat suasana Palembang yang beda dari biasanya. Ada baliho khas
SEA Games, bendera negara-negara Asia Tenggara plus Timor Leste, sama countdown
juga, wooow, tampaknya mulai bersiap menerima tamu-tamu se-ASEAN.
Sayangnya, melihat jadwalnya, 11 November 2011, so pasti aku
nggak bisa hadir ke sana. Maksud hati ingin nonton, ya apa daya, aku ‘kan masih
sekolah! Ya, impianku harus ditunda dulu, dan mungkin cuma bisa melihatnya
lewat layar kaca.
Tiga tahun
kemudian....
Tiba-tiba, ada berita nih, Vietnam selaku tuan rumah asli
Asian Games ke-18, mundur, waaah Indonesia langsung tancap gas dan gerak cepat
buat lobi-lobi sama OCA, bahwa Indonesia sanggup menyelenggarakannya. Bayangin,
itu ‘kan udah lama banget, 50 tahun lebih!
DKI Jakarta, melalui gubernur saat itu, Basuki Tjahaja
Purnama, ingin membawa Asian Games ke ibukota dengan semangat Bung Karno berupa
merenovasi kompleks GBK yang amat kuno dan jadul yang membuatnya “terlahir kembali”.
Sedangkan, Sumsel dengan gubernurnya saat itu
Alex Noerdin—hmmm udah tahu ambisiusnya beliau seperti apa—bercita-cita
ingin Palembang jadi tuan rumah Asian Games tahun 2018.
Tahun 2018, yang bener? Ya walaupun sebenarnya sih digeser
dan direncanain digelar pada 2019, setahun sebelum Olimpiade Tokyo 2020.
Dannn... ahaaa! Gayung bersambut! Setelah rapat dan
pertimbangan ini-itu, akhirnya ditetapkannya Jakarta-Palembang jadi kota tuan
rumah pengganti. Jadwal pelaksanaannya dikembalikan ke tahun 2018 karena
biasalah, 2019 ‘kan ada Pilpres, kalo dilaksanain bareng bareng malah ribet.
Lalu, mengapa ya harus dua kota? Karena waktu persiapannya tinggal 4 tahun,
cukup sempit untuk ukuran persiapan multievent
besar!
Duuuh, kalo denger kayak gitu, itu seakan menghidupkan
harapanku yang tertunda. Langsung aku membayangkan, bermimpi, datang ke
Palembang, nonton pertandingan, beli merchandise di Jakabaring Sport City.
Duuh, pokoknya, jadi pengalaman tak terlupakan dan dikenang seumur hidup!
Tahun demi tahun
berlalu... akhirnya!
Sampailah di tahun 2017, tepatnya setelah countdown one year before 2018 Asian Games.
Inilah saatnya untuk mempertegas apa yang kuimpikan sejak lama. Bahkan, saking
kepengennya jadi bagian dari sejarah bangsa Indonesia—ya lah, momen langka gitu
loh—aku sampai memejamkan mata, membayangkan, terus aku ucapkan: “tahun depan,
aku akan menyaksikan pertandingan Asian Games di kampung halamanku sendiri!”
Tak hanya itu saja, sebelum memasuki tahun 2018, aku
menuliskan impianku pada tahun berikutnya, salah satunya menonton perhelatan
Asian Games secara langsung di Jakabaring Sport City (JSC). Kenapa ya bukan di Jakarta?
Aku emang enggak niat nonton pesta olahraga se-Asia ke ibukota termasuk upacara
pembukaan, udah tau biayanya mahal. Aku harus realistis aja deh.
Dan akhirnya tahun
2018 sampai juga ya.
Dari tahun kemaren sampe tahun 2018 aku lagi getol-getolnya
ikut lomba nulis kesana kemari, meskipun yang berhasil menang Cuma satu.
Termasuk pas Januari aku sedang berjuang ikut lomba tentang kreativitas gitu
loh. Tentunya, buat ongkos pas nonton Asian Games. Ya lah, masak harus
bergantung sama orang tua?
Sempat ragu dan bingung masa depanku gimana? Ya. Tapi, kala
kami ke Palembang karna urusan keluarga, aku melihat suasana Asian Games yang
semakin terasa lewat baliho-branding
segala macam menghiasi kota Pempek, akhirnya aku merasa “jatuh cinta” lagi.
Semuanya berubah dan diingatkan tentang mimpi-mimpiku untuk jadi bagian momen
bersejarah, jadi penonton aja sudah cukup bagiku. Huh, semakin bersemangat— dan saking bergairahnya diriku bahkan sampai
kukabarkan lewat komentar radio—untuk mengejar impianku, menjadi satu dari dua
ratusan juta rakyat Indonesia yang jadi saksi sejarah multievent empat tahunan ini.
Puncaknya, kala pak Presiden Jokowi memerintahkan untuk
promosi Asian Games di seluruh Indonesia, bukan hanya Jakarta-Palembang doang,
berbagai lembaga pemerintahan langsung tancap gas, pasang spanduk-baliho dan
lain-lain. Tuh bisa dilihat pas aku liat spanduk-spanduk, bukan hanya di
daerahku, waktu lebaran di Jawa juga ditemukan promosi beginian—sampe-sampe
jadi bahan buat lomba selfie. Tapi kalo ngelihat baliho-baliho Asian Games dari
pemerintah—taruhlah TNI/POLRI, aku tambah nyesekkk karena sama saja
mengingatkanku akan kampung halaman!
Hingga, tiba saatnya,
hari paling mendebarkan.
Tanggal 30 Juni 2018, panitia Asian Games, INASGOC
meluncurkan pembelian tiket secara online. Duuuh, langsung cemas deh aku.
Pengen beli secepatnya takut kehabisan, di sisi lain aku belum menemukan teman
buat nonton. Kalo sampe gagal nonton langsung, aku nangis bombay, syediiiiih.
Melewatkan momen langka di kampung halaman merupakan kerugian terbesarku, nggak
lengkap jadinya kenangan-kenanganku di kota Palembang!
Akhirnya, dengan napsu aku beli tiket di Ki*stix, bayar,
terus terima e-mail tiket. Aku pilih cabor dayung yang dilombakan di JSC soalnya adem banget
danau birunya, hehehe. Setelah menuntaskan pembelian tiket, bukan berarti udah
selesai, ya. Aku masih terus berjuang gimana caranya untuk dapatkan dana untuk
berlibur pas Asian Games di Palembang.
Oh ya, aku baru ingat, pas sebelum tiba hari raya Idul
Fitri, ‘kan lagi getol-getolnya tuh Kemenkominfo gelar lomba tentang Asian Games.
Setelah aku akhirnya lempar handuk buat ikut lomba nulis mengingat waktunya
sempit menuju pembukaan, aku tak mau menyerah. Langsung deh meluncur buat ikut
lomba foto selfie yang akhirnya gagal menang, dan aku juga ikutan lomba
blogging; menulis
surat terbuka untuk para atlet yang berlomba di pesta
olahraga se-Asia, tentunya dengan rasa cinta dan lagi-lagi, mengait-ngaitkan
pada kampung halamanku, Palembang yang jadi salah satu dari dua kota tuan rumah
Asian Games
#cieee.
Dan tak hanya itu, aku juga ikutan foto maskot lagi
jalan-jalan ke suatu tempat alias #GoesToMascot, bikin caption kayak cerita (pasti
beraroma galau ni yee) dengan boneka Atung yang syukurlah aku udah punya duluan
(yang akhirnya ku-kasihkan ke keponakan). Sempat berfoto di Taman Merdeka kota
Metro, tapi enggak puas. Akhirnya aku ingat, spot instagramable itu di Tugu
Kopiah Emas Gunung Sugih. Eurekaaa! Akhirnya aku bisa mewujudkan impianku
berkunjung ke sana!
Nah... semakin
mendekat ke bukan Agustus 2018, hatiku semakin gelisah.
Ya gimana gak gelisah, udah ikutan lomba kesana-kemari, tapi
belum ada kepastian hadiahnya nyampe atau enggak. Walaupun lomba foto
#GoesToMascot alhamdulillah aku termasuk di antara sepuluh pemenang gelombang
pertama, tetap aja aku gelisah, aku butuh duit secepatnya buat liburan ke
Palembang saat Asian Games dan sekalian berlebaran haji di sana.
Memang sih, Torch Relay Asian Games 2018 juga melewati
Lampung, tapi ‘kan rutenya dari Lampung Tengah langsung ke Lampung Selatan. Ya
udah, berarti lewat jalan lintas tengah yang dengan kata lain, kampungku enggak
dilewati. Ya masa bodo’. Aku lebih mementingkan impianku sendiri, dan Cuma bisa
menyaksikannya lewat media sosial dan mungkin, layar kaca.
Dan akhirnya, hari-hari bersejarah pun tiba, 18 Agustus
2018.
Dari jam ke jam menuju detik-detik upacara pembukaan yang
dimulai pukul 7 malam itu, rasanya dag dig dug serrrr. Dan tau nggak kenapa aku merasa merasa
penasaran dengan acara pembukaan itu? Bukan karena faktor creative director-nya, Wishnutama yang terkenal magis itu, ya.
Tapi, panggungnya gilanya keterlaluan, berbentuk gunung berapi super tinggi,
air terjun, dan berhiaskan tanaman dan bunga-bunga yang menonjolkan kesan
alami. Ini yang aku suka. Pokoknya, faktor itu yang membuatku merasa nggak
sabar lagi buat nonton pertunjukannya!
Pukul 19.00 WIB, dengan
hanya ditemani es sirop rasa jeruk sebagai teman nontonku, upacara pembukaan
pun dimulai.
Dimulai dari film yang ceritanya Presiden Joko Widodo lagi
mengendarain motor gede menuju stadion GBK dengan melintasi kemacetan ibukota
yang caranya ekstrim banget, lalu tarian Ratoe Jaroe yang polanya emang
antimainstream. Belum lagi pertunjukkan inti yang sengaja diletakkan setelah
melalui rangkaian protokol, segmen bumi yang tak lain adalah versi ringkas dari
segmen “Harmoni Nusantara” pada peringatan 100 tahun Hari kebangkitan Nasional
meski ada beberapa perbedaannya, juga prosesi penyalaan api yang dimasukkan
dalam salah satu segmen kreatif yang nuansanya serba merah. Sama saja, tata upacaranya “keluar pakem” dari opening mulitievent 4
tahunan sebelum-sebelumnya, yang biasanya dimulai pertunjukkan inti lebih dulu,
ya.
Dan bikin aku merasa tak terduga, pas prosesi penyalaan
kaldron api itu, yang kukira harus ke luar. Ternyata cukup dari dalam aja,
dinyalain ke gunung yang akhirnya tersambung ke kaldron utama. Dalam hatiku
bilang begini: “Olalaaaaah!” Emang
kreatif nian, nggak ngebosenin, dan gila meeen.
Sehari Setelah
Upacara Pembukaan....
Habis itu, langsung disuguhin pertandingan-pertandingan yang
disiarkan di televisi. Ada taekwondo yang meraih emas pertama, wushu, dan masih
banyak lagi. Tapi, hatiku tambah nyesek dan tambah kangen juga sama kota
kelahiran kala ada juga pertandingan dari Palembang disiarkan juga. Cabor voli
pantai misalnya.
Karena itu, aku sempat minta izin ke Papa untuk nonton ke
sana, tapi awalnya nggak dibolehin, sediiih banget yaak, aku berjuang sekuat
tenaga, sampe persiapan pakaian udah kulakukan, tekadku udah bulat untuk nonton
pertandingan Asian Games. Namun, akhirnya diizinkan juga. Yeaaay!
Akhirnya berangkatlah kami ke Palembang, lewat jalur yang
biasa aku lalui mas pulang kampung plus melewati tol Palindra
(Palembang-Indralaya) untuk pertama kali. Nyess, waktunya pun lebih singkat
ternyata. Lalu, sesampainya di rumah kosan sepupu mama, ada salah seorang
sepupu lain yang duduk di bangku SMK ternyata udah nonton pertandingan
sepakbola putri sama teman-teman sekelasnya! Huuuh, jadi iri!
Setelah beristirahat sebentar, aku, mama, dan sepupu mama
pun bersiap ke Jakabaring Sport City, tempat yang telah kuidam-idamkan sejak
lama. Ya, kami bertiga memang belum pernah kesana. Apalagi sepupu mama lagi
libur kerja menyambut hari raya Kurban jadi aku merasa nyaman buat nonton
bareng, asyiiiik!
Nyampai di loket, aku pun langsung berani nanya ke para
sukarelawan (volunteer) yang subhanallah, ramah sekali. Celaka, aku pun belum
sempat nge-print tiket itu, dan rupanya pertandingan cabor dayung udah mulai,
hangus deh jadinya. Sebagai gantinya, kami bisa nonton pertandingan voli pantai
pada pagi dan siang itu, antara atlet putra Indonesia VS Oman, Indonesia VS
Palestina (yang membuatku terkagum akan persahabatannya lewat tukar syal), dan
Indonesia VS Kahzastan untuk atlet putri yang sebelum masuk harus diperiksa
dulu barang bawaannya. Seru juga sih, pengalaman baru.
Rupanya, emang terasa beda kalau nonton langsung dengan
hanya lewat tipi. Kami bisa dengar sorak-sorai, menyerukan nama Indonesia
ketika para atlet kita lagi bertanding, terus, aku lihat para kru dari IGBS
yang notabene orang asing mengambil gambar. Ya kayak di broadcast televisi aja.
Plusnya lagi, aku bisa banyak menemukan orang-orang asing di kompleks JSC. Ada
orang Jepang, bahkan ketika official Thailand lagi lewat, berbicara dengan
bahasa Inggris dan mau duduk, aku yang duduk di samping kameramen “mempersilakan”
sembari tersenyum kecil.
Selebihnya suasana sebenarnya hampir sama sih dengan nonton
pertandingan di kampung-kampung, tapi ‘kan berlevel internasional, hehehe.
Tentunya, aku tak mau ketinggalan, bawa souvenir, oleh-oleh.
Sayangnya, emang kami dasarnya tak bisa fokus, kami naik bus kesana kemari,
nemu festival di belakang stadion Gelora Sriwijaya, berjalan jauh keliling JSC,
sampai akhirnya nemu toko merchandise resmi di depan stadion Jakabaring dan
langsung berburu oleh-oleh di sana. Duuuh....
betapa bodohnya aku ini!
Rabu, 22 Agustus
2018.
Hari itu adalah momen yang langka banget buatku karena
biasanya kami cukup berlebaran haji di rumah saja. Pagi itu, kami beramai-ramai
shalat Id di Masjid Agung Palembang, suatu keinginan dari dulu yang baru
kesampaian tahun ini. Biasa, masjid agung di ibukota provinsi pasti bakal
dihadiri gubernurnya ‘kan? Nah, baru kali ini aku berkesempatan yang tak
terlupakan: dengerin sambutan dari Gubernur Sumsel saat itu, Pak Alex Noerdin.
Ya bagaimana tidak, ini adalah pengalaman pertama dan terakhirku bisa mendengar
beliau yang berambisi membangun daerahnya, karena sebentar lagi akan lengser
dan diganti gubernur yang baru.
Setelah itu kami pulang, dan aku—ya seperti biasa—cek
perolehan medali, siapa pemenangnya dari atlet kita, dan begitulah seterusnya
sampai penutupan. Terkadang aku juga menuliskan fenomena dari gegap gempita
Asian Games. Nah, waktu menjelang penutupan, langit di kampungku mendung
menggelap, dan terjadilah hujan deras. Rupanya di Jakarta juga sama; hujan
membasahi kompleks Gelora Bung Karno dan sampai tiba upacara penutupan dimulai,
hujan masih mengguyur walau kederasannya berkurang menjadi rintik-rintik.
***
Pagi setelah malam penutupan, suasana berubah jadi sepi. Ya,
sepi di hatiku. Nggak ada ceritanya—dalam pengakuan netijen—streaming di kelas,
ditampilin proyektor, nonton di smartphone, pulang awal demi nonton atlet yang
bertanding, stalking medsos dan media online, kumpul di pinggir jalan demi
lihat balapan sepeda, bahkan sampai rame-rame datang ke venue—kayak aku dan
keluarga.
Akhirnya, impianku terwujud juga, alhamdulillah, kuakui
gelombang energi Asia telah kurasakan
dalam diriku, begitu nyata. Beneran deh, enggak bohong! Seperti yang dikatakan
Presiden OCA Sheikh Ahmad Al-Fahad Al-Sabah dalam pidatonya saat penutupan
Asian Games 2018, “Kalian telah mewujudkan mimpi Asia, energi Asia, menjadi
kenyataan”. Dan aku pun mengamininya.
Terima kasih atas
kenangan terindah yang kudapatkan tahun 2018, dan baru tahun ini aku melihat
motto event sebenua yang benar-benar diterjemahkan menjadi semangat yang nyata.
Aku takkan melupakannya, dan bakal menjadi memori seumur hidup (karena tak tahu
kapan Indonesia jadi tuan rumah lagi), jadi catatan sejarah yang akan
kuceritakan pada anak cucuku kelak.