Rabu, 07 Agustus 2019

Kita, yang (Tidak) Melupakan Kearifan Leluhur

Agustus 07, 2019 Nahariyha Dewiwiddie

“Bapak Proklamator kita, Bung Karno, pernah berpesan dengan kata yang tegas: JAS MERAH! Yup, kita, jangan sekali-sekali melupakan sejarah!”

Namun, apakah sejarah yang kita ketahui selama ini cuma didapatkan dari pengajaran oleh guru-guru maupun lewat tulisan berjilid? Ya, sebenarnya sejarah itu lebih luas. Ditambah lagi, diramu dengan kearifan luhur dari para pendahulu di masa silam—yang kini mencoba untuk membumikan kembali lewat berbagai cara. 

Ya, bisa dilihat sendiri, keadaan bangsa kita seperti apa pada era digital ini. Kekinian, emang sih, tapi saya lihat Indonesia lagi kehilangan arah dan sebagian jati dirinya yang mestinya, menguatkan diri menjadi bangsa yang beradab dan punya kekhasan di dunia, seperti zaman nenek moyang dahulu.
Nah, apa harus balik lagi lewat catatan lama, lalu berpikir ke belakang? *ehem*

***

Dahulu kala, di kepulauan Nusantara yang indahnya bagaikan nirwana, datanglah segerombolan orang dalam jumlah besar, yang merupakan leluhur awal bangsa kita. Mereka, sudah mengembangkan kebudayaan dan teknologi yang bermacam-macam, dan seiring berjalannya waktu, mereka telah melahirkan mahakarya yang amat agung pada zamannya. Sebut saja Candi Borobudur, Keris, dan Kapal Jung yang sanggup belajar sampai belahan dunia yang jauh, sampai sebatas permainan tradisional penuh makna yang dimainkan anak-anak pada masa lalu.

Tapi, pencapaian hebat leluhur kita tak terbatas sampai di situ. Sampai dalam kehidupan sehari-hari pun, nenek moyang orang Indonesia mengajarkan nilai-nilai luhur—yang untungnya, diselamatkan melalui ideologi dan dasar negara yang jadi pegangan kita, Pancasila. Dan lagi, mereka mengajarkan sesuatu dengan mengibaratkan sebagai manusia sebagai simbol, ya biar bisa memperlakukan dengan baik. Ingat istilah “ibu bumi” atau “ibu pertiwi” ‘kan? Nah, maksudnya biar kita lebih merawat bumi dan seisinya, dengan semestinya.

Dengan seabrek kebudayaan dan nilai dari leluhur  Tanah Air kita pada masa lampau yang sebegitu tingginya, diriku baru sadar, nenek moyang kita memang JENIUS. 

Dan saking tingginya budaya kita—yang membentuk jati diri, akhirnya negara mengabadikan hal itu lewat simbol dan lambang yang dipergunakan sampai saat ini. Bendera merah putih yang merupakan warisan Majapahit, lambang negara Garuda yang terpengaruh budaya India lewat kerajaan kuno Hindu-Buddha di Nusantara, dan tentu saja, mata uang kita, Rupiah.

Tapi....

Apa itu bisa mengembalikan semua kearifan leluhur yang tumbuh di bumi Nusantara, pada masa kini?

Ternyata, itu belum semuanya yang berhasil bertahan!

Hmmm, diriku teringat, kala pemerintah berulang kali berpesan pada kita semua: “Lestarikan budaya bangsa, biar tidak punah”. Dan akhirnya, ada  banyak orang yang  mengembangkan kekayaan budaya lewat kebaya modern, fashion batik, minuman tradisional kekinian, dan lain sebagainya. Lalu, masih ada generasi muda yang belajar tari-tarian, musik tradisional untuk berbagai kegiatan.

Tapi, kita harus sadar, bangsa kita ini belum apa-apanya! Bahkan, kita harusnya belajar lebih banyak lagi dari kearifan nenek moyang kita dan mau menggalinya lebih dalam, biar kita nggak sok pintar dan jagoan di hadapan leluhur yang mewariskan kearifan itu. 

Nah, bisa dibuktikan sendiri, peristiwa gempa bumi 6,9 SR yang terjadi di Banten awal Agustus lalu, memberi pelajaran, bahwa kita harus kembali ke kearifan pendahulu kita. Mereka sejak dulu paham kok, kepulauan Nusantara ini rawan gempa. Makanya, mereka membangun rumah adat –di berbagai daerah yang bermacam-macam bentuknya—yang memang dirancang ramah dengan alam dan tahan gempa, dengan konstruksi yang canggih pada zamannya.

Tapi, bagi anak muda kekinian, hal-hal semacam itu ‘kan dah kuno banget!

Nah, itu masalahnya! Kita ini masih saja dihinggapi oleh sisa-sisa kolonial; bermental inlander. Dulunya, kolonial Belanda mendoktrin pribumi sebagai warga kelas bawah dan layak menjadi budak mereka, sehingga berdampak pada keturunannya: kita menganggap dari luar itu lebih baik, lebih hebat, tapi, itu belum tentu sesuai dengan budaya bangsa Indonesia, bukan?

Karena itulah, mumpung dalam bulan Kemerdekaan RI ke-74, kita harus merdeka dari hal-hal yang merusak jati diri bangsa kita. Walaupun kita belajar hal-hal yang baik dari luar, jangan lupa, kembali apa yang diajarkan pendahulu kita, termasuk di dunia pendidikan. Dulu, Ki Hadjar Dewantara punya metode pembelajaran yang menyenangkan, yang cocok untuk kita, tapi sayangnya nggak dimanfaatkan oleh bangsa sendiri dan sistem pendidikan berjalan tanpa arah. Memprihatinkan.

Dan, nenek moyang telah mengajarkan pada kita, apa yang datang dari luar, mereka memilah, mana yang terbaik dan cocok dengan budaya mereka. Nah, harusnya yang hidup di era teknologi, harus belajar apa yang dilakukan leluhur kita; memilah budaya asing dan menyaringnya sesuai kultur kita. apalagi soal hoaks, harusnya harus lebih cerdas lagi, memilah informasi yang ada, mana yang benar, mana yang merupakan kabar bohong, ya 'kan?

Salam hangat dan sampai jumpa lagi!


Total Tayangan Halaman

Cari Blog Ini