Senin, 31 Desember 2018

Asian Games 2018: Cinta Kampung Halaman dan Pengakuanku akan Energy of Asia

Desember 31, 2018 Nahariyha Dewiwiddie


Semenjak tahu kabar bahwa kota Palembang jadi tuan rumah Asian Games 2018 bersama Jakarta, aku bermimpi dalam empat tahun mendatang, akan menyaksikan pertandingannya di kota kelahiranku sendiri!
Dan sekarang, kalau diingat-ingat lagi, rasanya mimpiku itu benar-benar menjadi nyata, ya. Alhamdulillah.

Awal mulanya, aku baru benar-benar merasakan kebanggaan jadi tuan rumah justru pas jadi tuan rumah SEA Games 2011 di mana Palembang ditunjuk jadi tuan rumah. Kenapa nggak saat jadi tuan rumah Piala Asia 2007 dan Asian Beach Games 2008? Aku mah apa atuh, aku waktu itu nggak begitu mengerti sama dunia olahraga, apalagi pas perhelatan ABG itu yang ku lihat sekilias saja.

Dan semenjak tahu itu, hatiku pasti bangganya setengah mati. Seneng? Pastinya dong yaaah, kota kelahiranku jadi sorotan internasional. Bahkan, aku sempat berlebaran dan mengunjungi Palembang yang cuma sebentar itu, dan langsung melihat suasana Palembang yang beda dari biasanya. Ada baliho khas SEA Games, bendera negara-negara Asia Tenggara plus Timor Leste, sama countdown juga, wooow, tampaknya mulai bersiap menerima tamu-tamu se-ASEAN.

Sayangnya, melihat jadwalnya, 11 November 2011, so pasti aku nggak bisa hadir ke sana. Maksud hati ingin nonton, ya apa daya, aku ‘kan masih sekolah! Ya, impianku harus ditunda dulu, dan mungkin cuma bisa melihatnya lewat layar kaca.

Tiga tahun kemudian....

Tiba-tiba, ada berita nih, Vietnam selaku tuan rumah asli Asian Games ke-18, mundur, waaah Indonesia langsung tancap gas dan gerak cepat buat lobi-lobi sama OCA, bahwa Indonesia sanggup menyelenggarakannya. Bayangin, itu ‘kan udah lama banget, 50 tahun lebih!

DKI Jakarta, melalui gubernur saat itu, Basuki Tjahaja Purnama, ingin membawa Asian Games ke ibukota dengan semangat Bung Karno berupa merenovasi kompleks GBK yang amat kuno dan jadul  yang membuatnya “terlahir kembali”. Sedangkan, Sumsel dengan gubernurnya saat itu  Alex Noerdin—hmmm udah tahu ambisiusnya beliau seperti apa—bercita-cita ingin Palembang jadi tuan rumah Asian Games tahun 2018.

Tahun 2018, yang bener? Ya walaupun sebenarnya sih digeser dan direncanain digelar pada 2019, setahun sebelum Olimpiade Tokyo 2020.

Dannn... ahaaa! Gayung bersambut! Setelah rapat dan pertimbangan ini-itu, akhirnya ditetapkannya Jakarta-Palembang jadi kota tuan rumah pengganti. Jadwal pelaksanaannya dikembalikan ke tahun 2018 karena biasalah, 2019 ‘kan ada Pilpres, kalo dilaksanain bareng bareng malah ribet. Lalu, mengapa ya harus dua kota? Karena waktu persiapannya tinggal 4 tahun, cukup sempit untuk ukuran persiapan multievent besar!

Duuuh, kalo denger kayak gitu, itu seakan menghidupkan harapanku yang tertunda. Langsung aku membayangkan, bermimpi, datang ke Palembang, nonton pertandingan, beli merchandise di Jakabaring Sport City. Duuh, pokoknya, jadi pengalaman tak terlupakan dan dikenang seumur hidup!

Tahun demi tahun berlalu... akhirnya!

Sampailah di tahun 2017, tepatnya setelah countdown one year before 2018 Asian Games. Inilah saatnya untuk mempertegas apa yang kuimpikan sejak lama. Bahkan, saking kepengennya jadi bagian dari sejarah bangsa Indonesia—ya lah, momen langka gitu loh—aku sampai memejamkan mata, membayangkan, terus aku ucapkan: “tahun depan, aku akan menyaksikan pertandingan Asian Games di kampung halamanku sendiri!”

Tak hanya itu saja, sebelum memasuki tahun 2018, aku menuliskan impianku pada tahun berikutnya, salah satunya menonton perhelatan Asian Games secara langsung di Jakabaring Sport City (JSC). Kenapa ya bukan di Jakarta? Aku emang enggak niat nonton pesta olahraga se-Asia ke ibukota termasuk upacara pembukaan, udah tau biayanya mahal. Aku harus realistis aja deh.

Dan akhirnya tahun 2018 sampai juga ya.

Dari tahun kemaren sampe tahun 2018 aku lagi getol-getolnya ikut lomba nulis kesana kemari, meskipun yang berhasil menang Cuma satu. Termasuk pas Januari aku sedang berjuang ikut lomba tentang kreativitas gitu loh. Tentunya, buat ongkos pas nonton Asian Games. Ya lah, masak harus bergantung sama orang tua?

Sempat ragu dan bingung masa depanku gimana? Ya. Tapi, kala kami ke Palembang karna urusan keluarga, aku melihat suasana Asian Games yang semakin terasa lewat baliho-branding segala macam menghiasi kota Pempek,  akhirnya aku merasa “jatuh cinta” lagi. Semuanya berubah dan diingatkan tentang mimpi-mimpiku untuk jadi bagian momen bersejarah, jadi penonton aja sudah cukup bagiku. Huh, semakin bersemangat—  dan saking bergairahnya diriku bahkan sampai kukabarkan lewat komentar radio—untuk  mengejar impianku, menjadi satu dari dua ratusan juta rakyat Indonesia yang jadi saksi sejarah multievent empat tahunan ini.

Puncaknya, kala pak Presiden Jokowi memerintahkan untuk promosi Asian Games di seluruh Indonesia, bukan hanya Jakarta-Palembang doang, berbagai lembaga pemerintahan langsung tancap gas, pasang spanduk-baliho dan lain-lain. Tuh bisa dilihat pas aku liat spanduk-spanduk, bukan hanya di daerahku, waktu lebaran di Jawa juga ditemukan promosi beginian—sampe-sampe jadi bahan buat lomba selfie. Tapi kalo ngelihat baliho-baliho Asian Games dari pemerintah—taruhlah TNI/POLRI, aku tambah nyesekkk karena sama saja mengingatkanku akan kampung halaman!


Hingga, tiba saatnya, hari paling mendebarkan.

Tanggal 30 Juni 2018, panitia Asian Games, INASGOC meluncurkan pembelian tiket secara online. Duuuh, langsung cemas deh aku. Pengen beli secepatnya takut kehabisan, di sisi lain aku belum menemukan teman buat nonton. Kalo sampe gagal nonton langsung, aku nangis bombay, syediiiiih. Melewatkan momen langka di kampung halaman merupakan kerugian terbesarku, nggak lengkap jadinya kenangan-kenanganku di kota Palembang!

Akhirnya, dengan napsu aku beli tiket di Ki*stix, bayar, terus terima e-mail tiket. Aku pilih cabor dayung  yang dilombakan di JSC soalnya adem banget danau birunya, hehehe. Setelah menuntaskan pembelian tiket, bukan berarti udah selesai, ya. Aku masih terus berjuang gimana caranya untuk dapatkan dana untuk berlibur pas Asian Games di Palembang.

Oh ya, aku baru ingat, pas sebelum tiba hari raya Idul Fitri, ‘kan lagi getol-getolnya tuh Kemenkominfo gelar lomba tentang Asian Games. Setelah aku akhirnya lempar handuk buat ikut lomba nulis mengingat waktunya sempit menuju pembukaan, aku tak mau menyerah. Langsung deh meluncur buat ikut lomba foto selfie yang akhirnya gagal menang, dan aku juga ikutan lomba blogging; menulis surat terbuka untuk para atlet yang berlomba di pesta olahraga se-Asia, tentunya dengan rasa cinta dan lagi-lagi, mengait-ngaitkan pada kampung halamanku, Palembang yang jadi salah satu dari dua kota tuan rumah Asian Games  #cieee.

Dan tak hanya itu, aku juga ikutan foto maskot lagi jalan-jalan ke suatu tempat alias #GoesToMascot, bikin caption kayak cerita (pasti beraroma galau ni yee) dengan boneka Atung yang syukurlah aku udah punya duluan (yang akhirnya ku-kasihkan ke keponakan). Sempat berfoto di Taman Merdeka kota Metro, tapi enggak puas. Akhirnya aku ingat, spot instagramable itu di Tugu Kopiah Emas Gunung Sugih. Eurekaaa! Akhirnya aku bisa mewujudkan impianku berkunjung ke sana!

Nah... semakin mendekat ke bukan Agustus 2018, hatiku semakin gelisah.

Ya gimana gak gelisah, udah ikutan lomba kesana-kemari, tapi belum ada kepastian hadiahnya nyampe atau enggak. Walaupun lomba foto #GoesToMascot alhamdulillah aku termasuk di antara sepuluh pemenang gelombang pertama, tetap aja aku gelisah, aku butuh duit secepatnya buat liburan ke Palembang saat Asian Games dan sekalian berlebaran haji di sana.

Memang sih, Torch Relay Asian Games 2018 juga melewati Lampung, tapi ‘kan rutenya dari Lampung Tengah langsung ke Lampung Selatan. Ya udah, berarti lewat jalan lintas tengah yang dengan kata lain, kampungku enggak dilewati. Ya masa bodo’. Aku lebih mementingkan impianku sendiri, dan Cuma bisa menyaksikannya lewat media sosial dan mungkin, layar kaca.

Dan akhirnya, hari-hari bersejarah pun tiba, 18 Agustus 2018.

Dari jam ke jam menuju detik-detik upacara pembukaan yang dimulai pukul 7 malam itu, rasanya dag dig dug serrrr.  Dan tau nggak kenapa aku merasa merasa penasaran dengan acara pembukaan itu? Bukan karena faktor creative director-nya, Wishnutama yang terkenal magis itu, ya. Tapi, panggungnya gilanya keterlaluan, berbentuk gunung berapi super tinggi, air terjun, dan berhiaskan tanaman dan bunga-bunga yang menonjolkan kesan alami. Ini yang aku suka. Pokoknya, faktor itu yang membuatku merasa nggak sabar lagi buat nonton  pertunjukannya!

Pukul 19.00 WIB, dengan hanya ditemani es sirop rasa jeruk sebagai teman nontonku, upacara pembukaan pun dimulai.

Dimulai dari film yang ceritanya Presiden Joko Widodo lagi mengendarain motor gede menuju stadion GBK dengan melintasi kemacetan ibukota yang caranya ekstrim banget, lalu tarian Ratoe Jaroe yang polanya emang antimainstream. Belum lagi pertunjukkan inti yang sengaja diletakkan setelah melalui rangkaian protokol, segmen bumi yang tak lain adalah versi ringkas dari segmen “Harmoni Nusantara” pada peringatan 100 tahun Hari kebangkitan Nasional meski ada beberapa perbedaannya, juga prosesi penyalaan api yang dimasukkan dalam salah satu segmen kreatif yang nuansanya serba merah.  Sama saja, tata upacaranya  “keluar pakem” dari opening mulitievent 4 tahunan sebelum-sebelumnya, yang biasanya dimulai pertunjukkan inti lebih dulu, ya.

Dan bikin aku merasa tak terduga, pas prosesi penyalaan kaldron api itu, yang kukira harus ke luar. Ternyata cukup dari dalam aja, dinyalain ke gunung yang akhirnya tersambung ke kaldron utama. Dalam hatiku bilang begini: “Olalaaaaah!”  Emang kreatif nian, nggak ngebosenin, dan gila meeen.

Sehari Setelah Upacara Pembukaan....

Habis itu, langsung disuguhin pertandingan-pertandingan yang disiarkan di televisi. Ada taekwondo yang meraih emas pertama, wushu, dan masih banyak lagi. Tapi, hatiku tambah nyesek dan tambah kangen juga sama kota kelahiran kala ada juga pertandingan dari Palembang disiarkan juga. Cabor voli pantai misalnya.

Karena itu, aku sempat minta izin ke Papa untuk nonton ke sana, tapi awalnya nggak dibolehin, sediiih banget yaak, aku berjuang sekuat tenaga, sampe persiapan pakaian udah kulakukan, tekadku udah bulat untuk nonton pertandingan Asian Games. Namun, akhirnya diizinkan juga. Yeaaay!
Akhirnya berangkatlah kami ke Palembang, lewat jalur yang biasa aku lalui mas pulang kampung plus melewati tol Palindra (Palembang-Indralaya) untuk pertama kali. Nyess, waktunya pun lebih singkat ternyata. Lalu, sesampainya di rumah kosan sepupu mama, ada salah seorang sepupu lain yang duduk di bangku SMK ternyata udah nonton pertandingan sepakbola putri sama teman-teman sekelasnya! Huuuh, jadi iri!

Setelah beristirahat sebentar, aku, mama, dan sepupu mama pun bersiap ke Jakabaring Sport City, tempat yang telah kuidam-idamkan sejak lama. Ya, kami bertiga memang belum pernah kesana. Apalagi sepupu mama lagi libur kerja menyambut hari raya Kurban jadi aku merasa nyaman buat nonton bareng, asyiiiik!

Nyampai di loket, aku pun langsung berani nanya ke para sukarelawan (volunteer) yang subhanallah, ramah sekali. Celaka, aku pun belum sempat nge-print tiket itu, dan rupanya pertandingan cabor dayung udah mulai, hangus deh jadinya. Sebagai gantinya, kami bisa nonton pertandingan voli pantai pada pagi dan siang itu, antara atlet putra Indonesia VS Oman, Indonesia VS Palestina (yang membuatku terkagum akan persahabatannya lewat tukar syal), dan Indonesia VS Kahzastan untuk atlet putri yang sebelum masuk harus diperiksa dulu barang bawaannya. Seru juga sih, pengalaman baru.


Rupanya, emang terasa beda kalau nonton langsung dengan hanya lewat tipi. Kami bisa dengar sorak-sorai, menyerukan nama Indonesia ketika para atlet kita lagi bertanding, terus, aku lihat para kru dari IGBS yang notabene orang asing mengambil gambar. Ya kayak di broadcast televisi aja. Plusnya lagi, aku bisa banyak menemukan orang-orang asing di kompleks JSC. Ada orang Jepang, bahkan ketika official Thailand lagi lewat, berbicara dengan bahasa Inggris dan mau duduk, aku yang duduk di samping kameramen “mempersilakan” sembari tersenyum kecil.

Selebihnya suasana sebenarnya hampir sama sih dengan nonton pertandingan di kampung-kampung, tapi ‘kan berlevel internasional, hehehe.

Tentunya, aku tak mau ketinggalan, bawa souvenir, oleh-oleh. Sayangnya, emang kami dasarnya tak bisa fokus, kami naik bus kesana kemari, nemu festival di belakang stadion Gelora Sriwijaya, berjalan jauh keliling JSC, sampai akhirnya nemu toko merchandise resmi di depan stadion Jakabaring dan langsung berburu oleh-oleh di sana. Duuuh....  betapa bodohnya aku ini!

Rabu, 22 Agustus 2018.

Hari itu adalah momen yang langka banget buatku karena biasanya kami cukup berlebaran haji di rumah saja. Pagi itu, kami beramai-ramai shalat Id di Masjid Agung Palembang, suatu keinginan dari dulu yang baru kesampaian tahun ini. Biasa, masjid agung di ibukota provinsi pasti bakal dihadiri gubernurnya ‘kan? Nah, baru kali ini aku berkesempatan yang tak terlupakan: dengerin sambutan dari Gubernur Sumsel saat itu, Pak Alex Noerdin. Ya bagaimana tidak, ini adalah pengalaman pertama dan terakhirku bisa mendengar beliau yang berambisi membangun daerahnya, karena sebentar lagi akan lengser dan diganti gubernur yang baru.

Setelah itu kami pulang, dan aku—ya seperti biasa—cek perolehan medali, siapa pemenangnya dari atlet kita, dan begitulah seterusnya sampai penutupan. Terkadang aku juga menuliskan fenomena dari gegap gempita Asian Games. Nah, waktu menjelang penutupan, langit di kampungku mendung menggelap, dan terjadilah hujan deras. Rupanya di Jakarta juga sama; hujan membasahi kompleks Gelora Bung Karno dan sampai tiba upacara penutupan dimulai, hujan masih mengguyur walau kederasannya berkurang menjadi rintik-rintik.

***

Pagi setelah malam penutupan, suasana berubah jadi sepi. Ya, sepi di hatiku. Nggak ada ceritanya—dalam pengakuan netijen—streaming di kelas, ditampilin proyektor, nonton di smartphone, pulang awal demi nonton atlet yang bertanding, stalking medsos dan media online, kumpul di pinggir jalan demi lihat balapan sepeda, bahkan sampai rame-rame datang ke venue—kayak aku dan keluarga.

Akhirnya, impianku terwujud juga, alhamdulillah, kuakui gelombang energi Asia  telah kurasakan dalam diriku, begitu nyata. Beneran deh, enggak bohong! Seperti yang dikatakan Presiden OCA Sheikh Ahmad Al-Fahad Al-Sabah dalam pidatonya saat penutupan Asian Games 2018, “Kalian telah mewujudkan mimpi Asia, energi Asia, menjadi kenyataan”. Dan aku pun mengamininya.

Terima kasih atas kenangan terindah yang kudapatkan tahun 2018, dan baru tahun ini aku melihat motto event sebenua yang benar-benar diterjemahkan menjadi semangat yang nyata. Aku takkan melupakannya, dan bakal menjadi memori seumur hidup (karena tak tahu kapan Indonesia jadi tuan rumah lagi), jadi catatan sejarah yang akan kuceritakan pada anak cucuku kelak.



Selasa, 12 Juni 2018

(Kutunggu Perjuangan Kalian, Menjadi Saksi di Kota Palembang!) Dukung Bersama Asian Games 2018



Halo atlet-altet Indonesia yang kubanggakan!

Apa kabar hari ini? Mudah-mudahan, kalian baik-baik saja, bukan?

Oh ya, bentar lagi kita semua akan menyambut hari raya Idul Fitri, ‘kan? Yeaaay, aku juga begitu. Lebih gembira lagi, tahun ini aku akan mudik ke pulau Jawa; ke kampung halaman papa dan rumah kerabat dari mama. Tapi....

Kurasa, kalian tak bisa melakukan hal yang sama denganku. Bahkan, kalian harus mengorbankan diri untuk tidak berkumpul dengan keluarga. Eitts, bukan karena tidak mau atau egois. Namun, ini semua kalian dilakukan demi NAMA BANGSA!

Aku tahu, tepat pada hari Lebaran, kalian harus bertandang ke luar negeri untuk mengikuti lomba atletik. Bahkan, sebagian dari kalian pada waktu tertentu harus rela mengikuti latihan-latihan dan perlombaan baik, baik di negeri sendiri maupun sebagai tamu di negeri orang. Ya begitulah kehidupan kalian sebagai atlet yang harus dihadapi. Namun, di balik itu, yakinlah suatu saat akan dibayar dengan hasil terbaik yaitu medali emas. Percayalah, kalian pasti bisa!

***

Hmmm, kalau soal perjuangan kalian dalam meraih gelar juara, aku jadi teringat pada masa kecilku. Entah kenapa, aku malah (lumayan) suka dengan dunia olahraga. Dunia yang tak semua rakyat negeri ini menaruh hati padanya, malah berpaling pada politik yang lebih menawan.

Kurasa, aku terbawa arus dari papa yang suka dunia bola dan juga pernah jadi atlet catur dan mewakili pekan olahraga se-provinsi. Tapi, aku melihat dunia olahraga ini, lebih dari itu. Ia adalah sejenis sihir yang ampuh dalam menumbuhkan rasa nasionalisme di hatiku, selain keberagaman yang mengalir dalam diri dan kujumpai di sekitarku.

Ah, kalau kalian tahu, aku yang baru lulus SD sepuluh tahun yang lalu, sudah terkena demam “Thomas and Uber Cup 2008” yang kala itu dihelat di Jakarta. Aku jadi tergirang dengan menyaksikan perjuangan pendahulu kalian di televisi, lalu membawaku ikut bermain bulutangkis dengan teman-teman sepermainan di halaman semen dalam lingkungan pabrik dimana dulu keluargaku pernah tinggal di sana. Seru deh pokoknya!

Nah, ceritaku tentang hal ini tak cukup sampai di sini. Setiap ada Indonesia Open, aku hampir tak ketinggalan menontonnya, apalagi kalau bukan permainan apik dari Taufik Hidayat, wooow.... Dan, tak hanya itu, pada final Olimpiade tahun 2016 lalu aku bahkan rela begadang sampai melewati pukul 12 tengah malam, demi melihat penampilan terbaik Owi/Butet yang mampu melibas lawan sampai bisa merebut medali yang bisa mempertautkan tradisi emas yang  sempat terputus pada empat tahun sebelumnya.

Oh ya, apakah aku hanya menyaksikan perjuangan kalian pada cabang olahraga bulutangkis? Tidak! Aku juga menyaksikan timnas bertanding pada dunia sepakbola.

Hah, sepakbola? Enggak salah nih, padahal kamu ‘kan perempuan, masa’ olahraga laki-laki kamu suka?

Lagi, dan lagi, rasa nasionalisme yang ditawarkan olahraga mampu meruntuhkan tembok pemisah yang dibangun oleh faktor apa pun, termasuk gender. Ya, tidak salah lagi. Demi kebesaran nama bangsa dan negara kita tercinta. Pastinya, rasa kebangsaan akan tanah air tempat saya lahir dan dibesarkan ini, semakin terbuncah kala para supporter bulutangkis meneriakkan yel-yel “IN-DO-NE-SIA”, serta para pecinta timnas yang menyanyikan lagu “Garuda di Dadaku” untuk membangkitkan semangat juang para atlet-atlet yang berjuang demi nama negeri ini. Dahsyaaaat!

Lalu, setelah itu kabar perjuangan kalian akan tersebar di mana-mana. Aku pun tak mau ketinggalan. Aku merasa dibuntuti oleh berita tentang All England, Indonesia Open, Thomas & Uber Cup, Piala Sudirman, Kejuaraan Dunia, Timnas Indonesia, Asian Games dan Olimpiade, yang kesemuanya ini mendorongku untuk “mencuri” berita-berita itu. Upps, bukan mencuri  kabar secara ilegal ya, hahaha. Tapi, aku ingin tahu secepatnya, hasil yang kalian dapatkan, apakah kalian menang membanggakan, atau justru terima kekalahan dengan kelapangan batin.

***

Duhai para atlet-atletku yang sedang berjuang merebut mimpi,

Sekarang, waktu demi waktu telah berlalu. Tak terasa tahun 2018 ini telah tiba dan melewati hampir separuhnya. Namun, tahun ini ada yang istimewa, deh. Ya, bagaimana tidak wahai para atletku, kami akan menggelar pesta untuk menjamu atlet-atlet terbaik se-Asia, termasuk kalian di rumah sendiri. Ya apalagi, kalau bukan Asian Games 2018!

Tapi, apakah kami membayangkan jamuan itu seperti makan-makan di suatu tempat? Bukan itu! Melainkan, kami akan menyuguhkan kalian dan para tamu dalam bentuk pertandingan. Ya, pertandingan olahraga! Di sinilah mereka akan unjuk kebolehan dan kemampuan terbaik, siapa yang berhak, dan layak diberikan hadiah tertinggi berupa medali emas!

Kalian pun sama, wahai atlet-atlet Indonesiaku. Tapi, persaingan yang makin ketat janganlah sampai optimisme kalian terbang melayang. Aku yakin, dengan perjuangan yang lebih jujur dan sportif, latihan yang lebih keras, dan “meminjam” kekuatan Tuhan lewat lantunan doa, kalian pasti bisa, pasti bisa! Sehingga, target 10 besar perolehan medali dari seluruh Asia, tak hanya sebatas gambaran di ruang ingatan kalian.

***

Wahai atlet-atlet yang disayangi Ibu Pertiwi,

Asian Games 2018 kian mendekat dan mendekat. Kalian sudah mempersiapkan amunisi untuk berjuang membela nama bangsa. Ya, di “medan perang” olahraga sesungguhnya, di mana dua kota tuan rumah pilihan telah disiapkan untuk menjadi saksinya, Jakarta dan Palembang.

Hmmm, menyebut nama kota terakhir ini membuatku terbawa perasaan, duhai atlet-atletku. Ya, bagaimana tidak, soalnya Palembang adalah kota kelahiranku yang telah memberikan banyak kenangan dan suasana khasnya tak akan bisa tergantikan dalam hatiku. Pokoknya, menyaksikan Asian Games 2018 di kampung halaman sendiri adalah salah satu impianku yang harus diwujudkan!

Makanya, aku bertekad untuk datang dan #dukungbersama masyarakat lain yang datang dan berada di kota Pempek untuk menyaksikan perjuangan kalian untuk mengharumkan negeri kita, pada pertandingan olahraga terbesar se-Benua Asia ini. Walaupun di bumi Sriwijaya ini, adalah kota tuan rumah pendukung dan kurang lebih ada 13 cabang olahraga yang digelar.

Kalian tahu, mengapa aku tetap bertekad untuk wajib hadir sekaligus mudik di tanah kelahiranku saat games times, yang akan dibuka pada 18 Agustus nanti?

Semua ini, karena cinta.

Rasa-rasanya, perhelatan Asian Games di kota Palembang telah berhasil merayuku untuk kembali pulang. Kembali karena cinta. Cinta pada kampung halaman yang terikat dalam hatiku, dan juga pada kalian yang butuh suntikan semangat dari kami yang hadir di venue pertandingan, agar kalian—seperti yang kuharapkan—bisa mendulang medali emas lebih banyak lagi, wahai atlet-atlet kebanggaanku.

Oke, demi rasa cinta pada kota kelahiran dan negeri sendiri, kutunggu perjuangan kalian saat waktu pertandingan tiba, menjadi saksi Asian Games di kota Palembang!

Muaaachh! 

Salam cinta,
Nahariyha Dewiwiddie

Total Tayangan Halaman

Cari Blog Ini