Rabu, 27 September 2017

Bedah Buku Perpusda Metro yang Menginspirasiku

September 27, 2017 Nahariyha Dewiwiddie

Yaaa... sudah lama saya tidak menghadiri bedah buku!

Terakhir kali, yang paling berkesan, pas ada bazar buku Inilah Saatnya untuk Action bersama Dominic Brian, remaja pemecah rekor dunia bidang mengingat. Dan itupun diadakan di Palembang. Lha sekarang? Ingin meliput penulis lain, tapi mana bisa? Jauuuuuhhh....

Melihat agenda bazar buku yang terpampang di baliho, kesempatan nih untuk datang! Sempat mau mencatat, tapi akhirnya saya urungkan. Malu ah, saya ini warga luar, bukan orang Metro....

Tapi, saya kembali bertemu adik kelas SMP dan SMA yang tak lain adalah anggota FLP di meja regristrasi. Mendaftar. Namun, saya sendiri dan lagi lagi mewakili diri sendiri. Tak ada sahabat yang menemani. Dan, saya hanya bisa terdiam, mendengarkan apa yang dibahas keempat narasumber tersebut.

Nah, melihat warga Metro ingin menulis dan menapak prosesnya menjadi penulis, rasanya saya mbatin: "Alhamdulillah, saya lebih baik dari mereka". Ups, bukan saya berlagak sombong laiknya Iblis mengingkari sujudnya Nabi Adam, tapi saya merasa beruntung, selangkah lebih maju dari mereka.

Buktinya, di blog K saya, dengan mengantongi seratusan headline, centang biru, kurasa pembaca mengenaliku sebagai penulis yang menelurkan karya hebat. Ah, sebenarnya ini diriku belum apa-apanya, belum benar-benar sempurna, masih harus ditingkatkan lagi.

Tapi, kalau dibandingkan dengan ketiga narasumber tersebut, yang sukses menembus media cetak dan menerbitkan buku, aku mah apa atuh, siapa saya ini? Rasanya, saya belum pantas untuk melangkah lebih jauh seperti mereka, apalagi kalau dibandingin dengan penulis best-seller Erica Febriani, duuh saya bukanlah siapa-siapa....

Tapi, menurut salah satu narasumber, cara terbaik untuk menulis adalah bergabung di komunitas. Komunitas? Kurasa tidak pernah, mustahil bagiku yang introvert dan tak punya banyak relasi. Namun, saya beruntung berada dalam platform blog, dikelola oleh perusahaan ternama dan punya nama, yang terkenal dengan harian KOMPAS itu. Karena mengutamakan kualitas dan hal-hal positif, pantas saya harus berkarya, memberi tulisan yang terbaik dong...

Lalu, ada tips lainnya. Penulis memang harus membaca, tentunya. Kemudian, narasumber yang berjilbab mengatakan bahwa menulis tergantung mood. Yup, saya memang setuju. Tapi, kadang-kadang, saya harus mengalahkan rasa malas tersebut karena tergoda akan target. Kalau tidak, saya menyesal jadinya, melewatkan waktu tanpa tulisan terbaikku.

Ya, begitulah kira-kira hasil informasinya. Pokoknya, saya harus bersemangat menulis lagi dan lagi, walau hanya seorang diri. Bukankah yang membuatku lebih bahagia?

Salam hangat dan sampai jumpa lagi!

Minggu, 24 September 2017

Bertemu Bazar Buku Gramedia di Perpusda Metro

September 24, 2017 Nahariyha Dewiwiddie

Yeayy.... ada bazar buku Gramedia lagi di Metro!

Ketika saya ke Perpusda lagi, ada barang-barang yang digelar di bawah tenda, terus ditata rapi seperti pada gambar di atas. Rupanya, bazar buku yang diadakan Gramedia baru dibuka kemarin. Ya, wajar kalau pengunjungnya enggak terlalu rame.

Lalu saya berdiskusi sama kasir Gramedia-nya, kalau bazar buku ini sengaja digelar di Perpusda. Menurutku, alasan Gramedia menggelar bazar bukunya adalah: Pertama, toko Gramedianya kecil, area parkirnya enggak terlalu luas, berdempet dengan toko-toko lain, pokoknya lebih kecil dari toko Gramedia Palembang Atmo.

Kedua, karena tempatnya strategis, banyak pengunjungnya, sehingga bisa memudahkan. Lagi pula, saat ini adalah waktu dimana Hari Kunjung Perpustakaan digalakkan, bukan?


Oh ya, bazar buku yang diadakan Gramedia ini, tentu saja menjual ratusan buku yang beraneka ragam. Ada kuliner, fiksi, teknologi, agama, motivasi, dan sebagainya. Ada buku-buku yang ditaruh dalam rak, ada juga yang terhampar di atas meja. Tapi, sebagian di antaranya sudah pernah saya lihat waktu ke gedung Gramedia Metro.


Tapi, bedanya, buku-buku yang dijual di Gramedia Metro pada meja Special Price dengan bazar bukunya, ya di Bazar buku, tentu buku-buku yang ditampilkan akan lebih banyak. Tapi, saya tetap saja bingung, mau milih buku yang mana, apalagi buku-buku kesehatan, psikologi dan agama. Habis, harganya lumayan mahal, ada yang lima belas ribu, ada yang tiga puluh ribuan, ada yang empat puluh ribu lebih, pokoknya kalau beli buku, silakan lihat stiker harga di belakang buku ya!


Namun, setelah pikir-pikir, saya putuskan tidak membeli buku kesehatan. Soalnya ada buku serupa yang lebih bermutu, yang kapan-kapan akan beli di situs daring walaupun harganya lebih mahal. Lalu, saya kepincut sama buku Ustadz Backpacker. Ya gimana tidak, sebagai penyuka traveling, pasti saya ingin baca, karena toh ada nuansa agama. Sayangnya, harganya lumayan mahal, lagi pula ada buku bacaan yang belum tuntas dan uangnya pas kalau dibeli. Ya udah deh, lain kali.


Ya, walaupun jadwal bazarnya buka lebih awal, berdasarkan jadwal, bazar buku akan berlangsung sampai 29 September 2017. Kalau tanya langsung sama petugas bazarnya, saya enggak sempat waktu itu!

Duuh, rasanya saya ingin ikutan acara Hari Kunjung Perpustakaan, biar warna-warni dan semarak saat ke perpustakaan. Tapi, harus dihemat dulu deh, bawa bekal dan harus sarapan dari rumah. InsyaAllah kalau bisa mendukung, saya ke sana lagi!

Ayoooo, kalau belum sempat, yuk ramaikan acaranya!

Salam hangat dan sampai jumpa lagi!

Sabtu, 23 September 2017

Refleksiku: Pencapaian 100 Headline dan Kue Bulan

September 23, 2017 Nahariyha Dewiwiddie

Seperti perjalanan besar yang memakan waktu cukup panjang, pasti suatu saat akan berhenti, lalu beristirahat sebentar. Begitu pun dengan menulis, aku akan berhenti, dan merefleksi apa yang ku perbuat, dan kucapai selama ini.

Minggu lalu, sewaktu saya ke kota, kembali lagi singgah ke supermarket terbesar dan terkenal di kota itu. Di sana, terpajanglah berbagai macam kue bulan yang sangat penting bagi warga Tionghoa.

Kue bulan? Itu lho, kue yang biasa disajikan pas Festival Musim Gugur. Walaupun kue tersebut bikin saya tertarik, tapi bukan karena ingin ikut-ikutan merayakannya, ya!

Sayangnya, karena harganya lumayan mahal, per buahnya seharga Rp 20.000, ya udah deh, terpaksa ditunda dulu.

Dari situlah, justru muncullah sebuah janji dari hati saya, kalau jumlah artikel yang dinilai headline di blog Kompasiana-ku genap 100, saya akan dibelikan hadiah untuk diri sendiri; Kue Bulan!

Tentu, bagaimana tidak, hadiah tersebut justru memacuku untuk semangat menulis dan menulis lagi; memberi yang terbaik. Alhamdulillah, kini artikel headline-ku di K ini sudah genap seratus ("nyusul" Bang Bo yang lebih dulu meraih jumlah serupa), berkat artikelku tentang rasa malu. Jumlah yang tidak mudah untuk meraihnya, apalagi diriku yang notabenenya anak rumahan!

Lagi pula, blogger K yang meraih jumlah ratusan headline, masih sangat sedikit, 'kan?

Yang paling menggembirakan lagi, artikelku ini akhirnya terpilih untuk ikut masuk ke aliran berita yang ditampilkan Kompas.com waktu itu (bersama dengan artikel lain dari Pak Bamset), bukan di kolom Kompasiana! Duuh... senangnyaaa!


Nah, atas pencapaian itu, hari ini akhirnya janjiku untuk menikmati kue bulan akhirnya terwujud juga. Waktu di meja kasir, kasir yang tak lain adalah teman SMP-ku bertanya "Kamu beli kue Cina ya? Buat apa?"

Terus saya jawab: Enggak, saya memang suka kue, kok.

Oke, lanjut....

Ya, bukan perkara gampang untuk meraih "artikel yang terbaik, dari yang terbaik", yang berhak menduduki bagian paling atas dari platform blog milik KG ini. Di balik itu, tersimpan segala perjuanganku untuk bisa meraihnya. Mulai dari riset, perenungan, dan banyak membaca, tidak cukup hanya dengan mengandalkan pengalaman. Bahkan, ada juga artikel headline yang didapatkan justru dari luar rumah, dan melibatkan percakapan bersama teman!

Terus, waktu menulis. Pernah saya menulis salah satu artikel yang butuh waktu lebih dari sehari, lalu hasilnya nyaris sempurna dibanding artikel-artikel yang muncul setelahnya. Dari situlah saya dapat pelajaran, kalau ingin menulis sempurna, harus pelan-pelan, jangan nulis cepat kayak kejar tayang!

Lalu, tantangan saya saat menulis itu, melawan rasa malas. Setiap saya belajar materi untuk menulis kadang rasanya malaaaas sekali, dan ujung-ujungnya baca informasi lain. Tapi, kadang informasi tersebut, alhamdulillah-nya bisa kepake juga. Kadang pula, saya sampai lupa cari info lain, yang ternyata sangat penting saat nulis. Itulah yang saya sesalkan.

Tapi, kadang-kadang sebenarnya "rasa malas" itu, sambil baca-baca materinya, karena takutnya saya enggak siap saat menulis, bukan?

Terus, kalau teringat pembaca setia, alias fans tulisanku? Boro-boro ingat, kenal aja enggak. Teman-temanku juga tidak banyak yang tahu saya itu sebenarnya menulis. Ah, biarkan saja. Menceburkan diri ke dunia kepenulisanku yang sunyi memang enak bagiku yang suka menyendiri.

Yang penting, saya ingat motivasi terbesarku untuk terus menulis, seperti yang pernah saya tuliskan di artikel ini.

Mungkin, selain di artikel ini, mungkin saya akan berencana untuk instropeksi diri besar-besaran terkait dengan belajar menulis, lalu perbaikan ke depannya baagaimana....

***

Ternyata, dari kegiatan menulis, saya jadi tersadar, akan pentingnya belajar, lalu menerapkan ilmunya agar tak terbuang sia-sia. Kemudian memacu diri untuk rajin membaca, itu pasti. Dan yang pasti, menyelamatkan diriku dari kegiatan dan sesuatu yang tidak bermanfaat.

Nah, habis pencapaian 100 headline ini, saya putuskan akan berjalan; mengalir apa adanya saat diriku meneruskan dunia menulis. Mungkin, saya akan menerapkan metode 'pelepasan' saat posting tulisan ala Gobind Vashdev.

Dan, tentu saja saya akan menulis dengan pelan-pelan, siap akan materinya, dan (berusaha) dengan cara yang jujur dan tampil sempurna, serta mempertahankan tema kepenulisan saya, walaupun saya tidak lagi menulis hal-hal yang dianggap makruh dan haram dalam pandangan keyakinanku; pokoknya harus diperketat lagi deh!

Satu lagi, tahun depan, akan disediakan bulan khusus untuk mem-posting artikel hasil perjalananku ke Palembang saat Asian Games, tepatnya pada bulan Agustus. Dan saya memang sedang merencanakan impianku ini, insyaAllah saya akan menyaksikannya di sana! Do'ain ya, pembaca....

Salam hangat dan sampai jumpa lagi!

Anak rumahan yang kadang rindu plesiran & jalan-jalan

Sabtu, 02 September 2017

Andai UT Membuka Jurusan Psikologi...

September 02, 2017 Nahariyha Dewiwiddie
Sumber gambar: http://alumni-ut.com

Pada hari sebelumnya, saya ucapkan Selamat Hari Raya Kurban bagi yang merayakannya! Semoga, pada awal bulan ini (kalau ikut penanggalan masehi), kita bisa mewujudkan rela berkorban dalam kehidupan, dan ber-azzam untuk saling berbagi. Aamiiin....

Oke, sudahin dulu ya, pembukanya.

Kali ini, saya menulis tentang keluhanku dan kegalauanku selama ini. Ingin menempuh pendidikan tinggi sesuai jurusan yang disukai, eh malah terkendala izin orang tua. Pasalnya, mereka itu orangnya protektif; nggak rela putrinya kuliah di luar kota dan menginginkan kuliah di lokasi yang dekat saja.

Tapi, sekarang aja, mikirin kuliah dan baca modulnya aja sudah malas, enggak semangat lagi. Bukannya tidak bodoh, sih (karena kemampuanku cukup bagus meskipun kalah dengan yang jenius), tapi hatiku merasa tidak bersenyawa dengan jurusan yang kutekuni sekarang. Modul-modul kuliah yang pernah kupelajari, sedikit sekali yang nyangkut di otak, walaupun sudah berulang-kali mendalaminya.

Apa saya harus menyerah saja dan lebih baik cari pekerjaan? Hei! zaman sekarang ini, mana mau menerimaku yang hanya lulusan SMA?

Ya udah deh.... aku terusin nulis, lalu rajin ikutan lomba blog...

***

Ya, meskipun Ilmu Perpustakaan yang saya ambil memang sesuai dengan kepribadianku, dan ada unsur bidang media, dan saya juga berminat di bidang tersebut, tetap saja masih kalah dengan bidang lainnya.

Jujur, saya memang sudah lama tertarik dan menggemari hal-hal yang bisa memotivasi dan pengembangan diri, yang kesemuanya bermuara pada psikologi. Masalahnya, jurusan psikologi hanya ada di kota-kota besar, dan mustahil saya bisa kuliah di sana.

Jadi, maafkan aku ya, jika memang tak seberuntung orang lain yang begitu "klik" urusan kuliah dan restu ortunya....

Terus, saya pun kemudian berpikir, mungkin enggak, UT membuka jurusan Psikologi?

Jurusan Sosiologi aja bisa, masak Psikologi nggak bisa "menyesuaikan diri" dengan gaya belajar yang mandiri? Tapi, hmmm... kayaknya harus dipikir-pikir ulang, deh. Soalnya, bidang itu memang berhubungan dengan manusia, yang dituntut untuk interaksi, dan praktik-praktik sosial lainnya.

Waktu saya baca di Hipwee, jurusan sosiologi memang banyak yang ngasih tugas di lapangan; bertemu banyak orang. Nah, di jurusan psikologi, ya 11-12 lah. Belum lagi kalau disuruh kerjain statistika jilid 1 dan 2 yang ujung-ujungnya buat alat pengukuran psikologi dan disuruh "mempertahankannya", waaw lebih rumit lagi kalau diadaptasikan ke belajar mandiri!

Entahlah. Apa UT bisa menyesuaikan jurusan psikologi biar bisa pas untuk pembelajaran mahasiswa secara mandiri atau hanyalah sebuah hal yang mustahil, saya tidak tahu. Yang pasti, kebutuhan lulusan psikologi dewasa ini yang lama-kelamaan akan semakin banyak, dan celakanya lagi, tak semua daerah-daerah yang menyediakan Fakultas Psikologi di kampus!

Tarulah, Ilmu Perpustakaan yang memang urgent untuk dibutuhkan di dunia kerja. Tapi, itupun kebanyakan di kantor-kantor perpustakaan sekolah, kampus, maupun perusahaan saja. Lulusan psikologi, tentu lebih luas lagi. Kalau saya perkirakan nih, di daerah, adakah HRD yang berpendidikan psikologi. Masih jarang!

Dan, ketika saya melihat nama-nama tenaga medis yang bertugas di rumah sakit terdekat, yang ada hanyalah para dokter dan perawat. Tak ada satu pun psikolog di sana. Terus, kalau mau konsultasi masalah mental, ya dimana lagi?

Ya, itulah salah satu masukanku pada UT ke depannya--sebagai hadiah terindah untuk kampus terbuka pada hari Senin lusa, semoga pihak UT bisa mempertimbangkannya nanti. Apalagi, UT sudah punya rektor baru, bukan? Pasti akan membuat gebrakan demi gebrakan di era kepemimpinannya.

Hmmm, kalaupun tak terwujud nanti--dan memang jurusan ini yang terbaik bagiku meski saya tak terlalu menyukainya, semoga saya bisa diberikan kekuatan untuk bisa menyelesaikan studiku, sembari merancang sebuah impian dan karier idaman yang bisa membantu hobi yang merupakan passion-ku, tahun depan....

Salam hangat dan sampai jumpa lagi!

Rabu, 30 Agustus 2017

Pengumuman: Nahariyha Mundur dari Dunia Facebook!

Agustus 30, 2017 Nahariyha Dewiwiddie
Ya, sudah lama aku melakukan hal ini, dan akhirnya aku harus ku putuskan semuanya.

Akhir bulan ini, aku putuskan untuk hengkang dari dunia Facebook. Meninggalkan kenangan-kenangan yang telah kulalui bersamanya selama lebih dari lima tahun. Aku tahu, hal ini tidaklah mudah. Tapi, aku yakin, ini merupakan jalan yang terbaik untukku.

Terus, bagaimana dengan nasib teman-teman dan kerabatmu, apakah mereka akan rindu?

Mungkin ada yang rindu, tapi aku rasa tak akan rugi karena mereka telah melupakanku selepas SMA. Ya sudah, aku lupakan saja mereka!

Mungkin sewaktu SMA aku sudah melalui hari-hari bersama teman-teman, dan mereka mengabadikannya di media sosial Facebook. Tapi, selepas lulus SMA, kebersamaan kami di sekolah akhirnya berpisah.

Sejak saat itu, aku perlahan-lahan aku tak lagi aktif dan setia di Facebook, melainkan "berselingkuh" di dunia blogging. Apa pilihanku ini salah? Tidak, bahkan aku sangat menikmatinya! Malah, menurut teman sebangku pernah mengatakan, aku punya kelebihan di bidang bahasa, dan akhirnya diriku telah membuktikannya.

***
Setelah sekian lama terjun di dunia ngeblog, aku datang lagi ke Facebook. Awalnya, aku hanya ingin tahu apakah artikel-artikelku dari K ini di-share atau tidak. Akan tetapi, perlahan-lahan, diriku melihat apakah status-status facebook menjadi "lebih baik"? Hmmm, masih tidak berubah!

Ohh, aku ingat waktu SMA sering nulis status-status galau di FB. Namun, setelah menulis di blog umum, aku menyadari bahwa diriku mulai diajari menulis yang benar sampai etika bermedos itu bagaimana, sampai diajari literasi media segala. Dan itu benar, platform yang bernaung di perusahaan ternama dan berkualitas itu, mustahil mengajarkan hal-hal yang sembarangan!

Akhirnya, aku "didewasakan" di blog keroyokan ini, atas takdirNya yang menyeretku untuk menulis di sana. Sekaligus, membuatku jatuh cinta dengan bakat minatku saat ini. Bahkan, sampai menemukan, bidang apa yang selama ini menjadi perhatian lebih dariku untuk mempelajarinya lebih dalam, bahkan di bangku kuliah dan pekerjaan sekalipun.

Dan, hal ini tak ditemui di Facebook. Aku pernah menjadi korban peretasan dengan memasukkan foto-foto porno yang sangat kubenci. Belum lagi aku bergabung dengan banyak grup-grup tidak jelas itu, padahal aku tidak pernah klik untuk bergabung di sana. Ditambah, dengan banyak berita-berita hoax yang bertebaran di lini masa, apa aku tidak nyaman, coba?

Makanya, aku putuskan facebook ini untuk mengontak teman-temanku jika aku ingin bersilaturahmi. Tapi, itu pun tak bertahan lama. Terakhir, aku menggunakan akun ini untuk menghubungi seorang teman SD yang memilih mengabdi sebagai biarawati. Dan ya, ini memang pertemuan pamungkasku dengannya, yang dipertemukan lewat media sosial.

Akhirnya, aku rasa, akumulasi rasa sakit hati kepada teman karena tak dianggap sebagai teman sekolah, tidak nyaman karena porno dan hoax, dan status-status galau yang tak berfaedah, itulah yang membuat saya mengambil keputusan puncak; meninggalkan Facebook untuk selamanya!

Ya, memang tengah kurasakan sekarang.

Tapi, harus ku akui, kawan, aku bukan seorang Nahariyha Dewiwiddie yang tukang ngegalau seperti dulu. Namun, aku hanyalah manusia yang berusaha untuk bijak dan mengendalikan internet, di jalan manakah yang seharusnya ditempuh. Pertemuan di dunia maya telah usai, apakah di dunia nyata harus berakhir juga? Ya, mungkin saya terjadi.

Kini, aku harus ikhlas, untuk melupakan mereka yang tak lagi menganggapku bagian dari teman, walaupun statusnya sebagai teman di facebook. Mungkin ke depannya mereka akan kesulitan menghubungiku karena aku tak punya akun, dan ujung-ujungnya harus kirimkan e-mail.

Tak apa, malah sekarang aku lebih bebas karena aku bisa menikmati hidupku sendiri, dan bersahabat dengan orang yang "mengerti" aku, itu sudah cukup bagiku!

Maaf, aku harus meninggalkanmu, Facebook. Selamat tinggal....


Sabtu, 05 Agustus 2017

Akhirnya, Toko Buku Gramedia Hadir di Kota Metro!

Agustus 05, 2017 Nahariyha Dewiwiddie

Selamat datang di Toko Buku Gramedia yang kini hadir di Kota Metro, Lampung. Di sini, akan menjual berbagai macam barang-barang yang akan terbagi dalam tiga lantai. Yuk jelajahi, dan selamat berbelanja, Gramedia akan melayani Anda semua.

*kok pembukanya berlebihan banget ya?*

Setelah kami harus melalui waktu-waktu penantian dengan penuh kesabaran, akhirnya Toko Buku Gramedia resmi hadir di Kota Metro! Alhamdulillah. Harapan kami selaku warganet--yang berulang kali "menulis doa" di blog dan medsos--akhirnya terkabul juga. Yeaaay!

Ya, sudah lama kami mendambakan kehadiran itu. Sebelumnya, kami hanya bisa bermimpi, kapan toko buku terbesar dan terkenal hadir di kota kecil ini. Gramedia.... oh Gramedia, kapankah hadir di Metro, ya?

Pasalnya, jika mau membeli buku-buku berkualitas, ujung-ujungnya harus pergi ke Bandar Lampung yang dari sini memakan waktu perjalanan lebih dari satu jam. Dan, saya pun sudah pernah dua kali mampir di toko buku Gramedia Raden Intan. Ya sekaligus membuktikan ke papa saya bahwa ke Gramedia nggak melulu harus jauh-jauh ke Palembang sana *halah*

Rupanya, impian dan keluhan kami tentang kehadiran Gramedia di Metro, akhirnya "didengar" oleh pihak Gramedia Asri Media, sebagai pemilik toko buku ini. Seperti yang pernah saya ulas, kehadiran toko buku Gramedia di kota terbesar kedua di Lampung ini bertujuan untuk memenuhi kebutuhan buku berkualitas di Kota Metro. Dan, waktu pembukaan toko buku ini aja (15 Juli), sudah ramai pengunjung! Sayang, waktu itu saya nggak bisa ke sana, kondisiku belum pulih total!

Kami harap, Gramedia di Metro tak hanya sekadar singgah--seperti yang terjadi pada 2013, tapi bisa awet untuk selamanya. Aamiin...

***

Hari ini, setelah saya menghabiskan waktu membaca di Perpusda, saya langsung berjalan kaki melintasi jalan Ahmad Yani, kota Metro. Dalam batin, diriku berkata: "Semoga Gramedia buka ya!", dan akhirnya Gramedia benar-benar buka. Namun, saya tidak langsung mampir ke sana, karena harus makan siang terlebih dahulu di salah satu restoran. Habis itu, saya langsung mampir ke Gramedia.

Waktu pertama kalinya saya masuk ke tokonya, sambutan pegawai Gramedia yang ramah itu langsung menyapa saya dari dekat. Di lantai pertama, terjual tas dan alat-alat tulis, berserta dengan boneka-boneka dan peralatan edukatif lainnya.



Oh ya, di lantai pertama ini, meja kasir juga ada lho! Jadi, kalau udah puas belanja buku dan alat-alat lainnya, mau nggak mau ya harus turun ke lantai pertama buat bayar, kalau tidak ingin dianggap pencuri. Hehe :D

Oke, lanjut ke lantai kedua. Di lantai ini, terjual buku-buku tes CPNS dan buku tes-tes lainnya, buku fiksi yang memikat hati, kamus dan cerita-cerita anak.



Dan, sampailah di lantai terakhir, yang menjual buku-buku agama, kesehatan dan pengembangan diri (waah, bagian favoritku nih!). Ditambah, ada yang menjual kitab sucinya lho! Ya, walaupun masih ada yang jual buku yang agak lama, secara umum, ya lebih lengkap ketimbang toko-toko buku sejenis di kota Metro ini.



Padahal, di Gramed Palembang Atmo, lantai dua dan tiganya terbalik susunan jenis bukunya, tapi, ya nggak papa lah!

FYI nih, di lantai dua dan tiga, terjual buku-buku lama dengan special price antara Rp 10.000 sampai 30.000. Mungkin, ini tujuannya, supaya banyak warga Metro dan sekitarnya yang tertarik datang ke Gramedia, dan tak perlu khawatir dengan harga buku yang ada. Salut deh!


Dan, dari kunjungan ini, saya bisa membawa pulang tiga buku dari rak special price ini, walaupun sebenarnya saya ingin membeli buku rekomendasi saudara jauhku. Tapi, karena hanya alasan harga, ya belinya harus mikir ulang. Masa bodo', yang penting bisa bermanfaat, titik!

Oke, biar kalian lebih penasaran lagi dan tertarik untuk ke Gramedia Metro, silakan kunjungi tokonya di Jalan Ahmad Yani, 15A Metro Timur, di seberang Bank Eka *kok saya yang promosi?*

Tapi, kalau urusan lokasinya, ya hadapannya nggak persis-persis amat, 'kan yaa!

Selamat Mengeksplorasi, pembaca! Success for you, Gramed!

Salam hangat dan sampai jumpa lagi!

Rabu, 05 Juli 2017

Apa Kabar, Kondisi Jalan-jalan di Lampung Tengah?


Tak salah, saya memilih (calon) bupati Mustafa ketika Pilkada Serentak akhir 2015 lalu. Soalnya, sebelum pemilihan dilakukan, sempat ada kabar, sayup-sayup, atau entahlah apa namanya, yang menyarankan tidak memilih calon bupati tertentu. Sudah, saya milih yang lain saja.

Nah, alasan saya memilih Pak Mustafa karena beliau adalah wakil bupati yang mendampingi bupati sebelumnya, Pak Pairin, jadinya beliau sudah punya pengalaman. Oh ya, Pak Pairin sekarang sudah jadi walikota Metro, lho. Asal tahu aja, Metro dulunya adalah bagian dari Lampung Tengah, sebelum memisahkan diri pada tahun 1999, menjadi kotamadya sendiri.

Dan, kebijakan yang dibuat Pak Mustafa akhirnya ada yang terbukti, meskipun hanya dirasakan sebagian. Ya, namanya aja tindakan dari sebuah program pemerintahannya, perlu waktu. Ditambah lagi, luas Lampung Tengah, menjadi wilayah terluas no.3 di Lampung, (masih kalah sama Lampung Timur yang dulunya masih jadi bagian dari kabupaten ini). Pantesan, ya, mau ke kecamatan lain, kadang perlu waktu 1 jam lebih....

Ya sudahlah, mengurus kabupaten yang luasnyaaa minta ampun, memang sulit. Apalagi ditambah dengan berbagai permasalahan, salah satu yang paling banyak, tentu saja jalan-jalan yang rusak! Karena itulah, rencana Pak Bupati Mustafa untuk membangun jalan kampung beraspal, tentu diacungi jempol, tentunya dana yang digunakan, diserahkan kepada pihak desa masing-masing.

Alasannya, menurut Jejamo.com ya apalagi kalau bukan kemudahan, sehingga mobilitas dan roda perekonomian di Lampung Tengah, tidak terganggu.

Kalau udah ada kebijakan seperti itu, saya setuju. Yeay! Saya bisa bersepeda dengan aman dan nyaman, berkunjung ke rumah teman-teman dan tempat lainnya tanpa terganggu dengan jalan yang kasar dan berbatu. Soalnya, selama ini, pengaspalan jalan kampung hanya terbatas pada bagian-bagian tertentu, itupun dihubungkan dengan desa lain sebagai jalur alternatif.

Dan, akhirnya, kerja nyata dari Pak Mustafa, diperlihatkan hasilnya.

Dalam tahap pertama, jalan-jalan dekat sekolah mendapat prioritas untuk diaspal terlebih dahulu. Termasuk melewati kediaman saya dan keluarga. Bentuknya, melingkar seperti huruf U. Satu lagi, jalan lurus di dekat masjid TK, TPA, dan sekolah dasar negeri, sampai batas dusun lain.

Ya, gitu aja pengaspalan di sini. Di jalan-jalan bagian lain, semoga aja bisa menyusul....

Memang pengaspalan jalan kampung di desaku terlambat, jika dibandingkan dengan dua desa tetangga yang sebagian jalannya sudah diaspal. Tapi, bukankah itu lebih baik, ketimbang tidak sama sekali?

Sekarang beralih ke jalan raya. Masih teringat di pikiran saya, zaman SMP, dimana jalan desa Totokaton menuju Nunggalrejo, Kecamatan Punggur kayak kubangan air, jadi harus ekstra berhati-hati. Setelah diperbaiki, memang jalan dilalui dengan lancar. Kalau sekarang, bagaimana? Fyuh, kembali seperti dulu: rusak menyerupai kubangan!

Karena itulah, permasalahan jalan raya harusnya tak bisa dipandang remeh. Pemerintah Lamteng hendaknya harus memperhatikan permasalahan ini, termasuk bahan baku yang diperlukan untuk perbaikan jalan. Pastikan, bahan perbaikan jalan yang digunakan adalah bahan yang berkualitas, supaya jalan raya lebih baik dan awet ke depannya.

Ya semoga saja semua kecamatan bisa diperlakukan dengan adil, biar hasilnya bisa merata, dan tak ada adegan salah satu kecamatan yang merasa dianaktirikan gara-gara kurang diperhatikan, sehingga pilih pisah dengan kabupaten yang menaunginya.

Salam hangat dan sampai jumpa lagi!

Jumat, 09 Juni 2017

Menulis Artikel tentang Introvert, Jangan Takut!


Sumber: entrepreneur.com
Menulis artikel-artikel tentang introversi memang tak menjamin bisa jadi viral dalam waktu singkat. Iya lah, siapa yang mau baca artikel itu? Kebanyakan dari manusia di muka bumi ini memang ekstrovert, jadi mereka pasti merasa nyaman dengan sifat mereka, dan bahagia jika banyak orang yang selalu di sisinya, mengiringi setiap detik-detik kehidupan.

Namun, karena saya sendiri adalah seorang introvert, maka saya merasa perlu untuk menulis berbagai artikel tentang introversi, dalam berbagai sisi kehidupan. Hal-hal yang biasanya identik dengan ekstrovert, saya memberikan penjelasan agar yang introvert bisa dimengerti. Misalnya saja kopdar, vlog, dan aktivitas yang butuh tampil di muka umum dan pertemuan dengan banyak orang.

Oh ya, kalau mereka lihat artikel-artikel saya, pasti mereka menilai saya hanya berteori aja. Bo'ong ah kalo kayak gitu. Mana mungkin saya menulis kalau saya tidak merasakan pengalaman dan pembelajaran terlebih dahulu? Seandainya kalau artikel saya ditulis berpatokan dari referensi secara text book, pasti "rasa" dari tulisan saya nggak kayak biasanya. Kaku, dan terasa beda.

Cuma, saya kalau menulis, tak semua pengalaman dari pembelajaran saya tuliskan secara langsung, melainkan ditarik kesimpulan apa yang telah kualami, iyaa 'kan?

Nah, seperti yang sudah kujelaskan di beberapa artikel, karena pengalaman itulah, isi dari tulisan tak bisa dibilang "asal-asalan" dan meragukan. Terlebih, kalau sudah dipadukan dengan referensi ilmiah dari berbagai sumber, jadi isi tulisan tersebut akan semakin kuat dan berkualitas.

Oke, kembali lagi. Memang saya, akhir-akhir ini kok jadi getol menulis artikel soal introversi?

Ya, karena semua ini berawal dari kesalahpahaman.

Kesalahpahaman karena si introvert adalah pribadi yang tertutup, padahal itu kurang tepat sebenarnya. Sebenarnya, ini lebih kepada cara memperoleh energi mental dari lingkungan. Bisa sih bertahan di dalam dunia luar, namun bersifat terbatas. Setelah energinya terkuras, baru balik ke rumah untuk beristirahat, mengisi ulang energinya, bukan?

Ada anggapan-anggapan yang menyebutkan, si innies cenderung pemalu, pendiam. dan tidak pandai bersosialisasi. Memang benar, tapi tak semua orang cenderung seperti itu. Masih ada orang introvert yang mudah berteman dengan banyak orang, dan bisa percaya diri. Ya, semua ini, kembali lagi dengan kondisi pribadi masing-masing.

Tapi, secara umum, orang introvert kurang menyukai kegiatan yang butuh interaksi dengan banyak orang. Apalagi kalau disorot.... duuh, betapa tersiksanya! Makanya, saya menulis artikel-artikel yang biasa dilakukan oleh masyarakat, dan mengikuti perkembangan di era kekinian. Tapi, tentu dengan sisi lain dari seorang introvert.

Dan janganlah takut kalau menulis tentang hal itu, ya! Karena, saya yakin, masih ada orang senasib denganku yang butuh info itu, dalam berbagai sisi kehidupan. Sehingga, informasi tersebut bisa bermanfaat, dan kaum introvert bisa lebih bahagia serta tidak minder dengan temperamennya, bukan?

Dah, jangan khawatir lagi. Kaum introvert 'kan punya kelebihan nih, maka berkaryalah dengan sebaik-baiknya, sesuai dengan bidang yang disukai, ok?

I'm introvert, and I'm proud of it!

Minggu, 04 Juni 2017

Resensi Buku School of Skills: Menjadi Penulis Konten yang "Ahsanu Amala"

Sewaktu saya berada di Palembang, tepatnya di toko buku Gramedia World, mama saya merekomendasikan untuk membeli buku yang pas untuk hobiku. Judulnya, "School of Skills: Menulis untuk Kehidupan Dunia dan Akhirat".

Dan, ketika saya membaca buku--yang notabenenya adalah buku motivasi untuk berdakwah--diriku merasa mendapatkan banyak pelajaran berharga, yang tentunya berguna saat mengarungi dunia kepenulisan di masa depan.

Salah satunya, kita diperintahkan, dalam limit waktu yang terbatas ini, untuk menulis yang ahsanu amala, bukan aktsaru amala, karena sesuatu yang berkualitas, tentu tulisannya akan "berdaya ledak tinggi!" (hal.57). Apalagi kita dituntut untuk mengisi waktunya dengan hal-hal yang positif dan bermanfaat.
"Jika engkau tidak menyibukkan diri dengan kebaikan, niscaya engkau akan disibukkan dengan keburukan"

Nah, dalam menulis, tentunya tulisan yang kita hasilkan harus berilmiah, juga dipertanggungjawabkan secara ilahiyah. Pilihlah yang terbaik, dan pastikan, materi tulisan kita tidak melanggar syariat.
"Kita harus sangat berhati-hati jika tulisan kita menjadi inspirasi keburukan orang lain. Karena bisa menjadi dosa jariyah yang tak pernah berhenti. Ngeri. Astaghfirullah."

Lalu pesan dari Imam Syafi'i rahimahullah yang harus diingat ketika menuntut ilmu, baik agama maupun dunia, yang berjumlah enam perkara.
"Kamu tidak akan mendapatkan ilmu kecuali enam perkara, yaitu kecerdasan, gemar belajar, bersungguh-sungguh, memiliki biaya, bergaul dengan guru, dan perlu waktu lama" (hal.30)

Selanjutnya, saya tahu, pelajaran yang diambil dari kisah Sayyidah Nafisah (hal 21-22). Beliau adalah seorang wanita shalihah yang pandai memanfaatkan waktunya untuk meningkatkan keimanan, dan hal itulah yang mendorongnya untuk berdakwah di jalan Allah. Berkat kesungguhan dalam kebaikan, beliau diwafatkan dalam keadaan berpuasa, di bulan suci Ramadan pula! Subhanallaaah...

Kemudian, tentang membaca yang dibahas dalam bab "Paradigma Membaca". Sayangnya, banyak orang yang punya banyak koleksi buku, namun tak menghasilkan apa-apa selain uang. Jadi, kalau kita ingin kegiatan membaca kita berbuah karya, lihatlah Imam Syafi'i yang menjadikan buku sebagai pemantik ide menulisnya. Beliau masuk perpustakaan dan ketika keluar dari perpustakaan, beliau telah membuat karya baru, bukan copas skripsi!

Lalu, setelah itu, barulah kita mengolah ide menjadi sebuah tulisan. Di buku ini, Pak Shol menjelaskannya melalui filosofi "Menulis Selezat Memasak". Lima langkah tersebut antara lain:
1). Memiliki gagasan yang bersih, segar dan cemerlang
2). Mencari sumber yang bersih, halal dan segar
3). Mengolahnya dengan resep khas dan cerdas
4). Mencicipi dengan hati yang jernih dan lidah yang fasih
5). Menyajikannya dengan indah dan mulia.

Tentunya, kita menulis tentunya dijadikan sebagai tarbiyah diri sendiri, memaknai setiap peristiwa sebagai muhasabah diri.

Dan, masih banyak hal-hal lain yang tentunya, tak bisa kujelaskan semuanya.

Penasaran? Yuk, miliki bukunya, dan rasakan efek motivasi yang akan membakar semangat menulismu!

KETERANGAN BUKU:

Judul Buku: School of Skills
Penulis: Solikhin Abu Izzuddin
Penerbit: Pustaka Ikadi
Tahun Terbit: 2015
Jumlah halaman: 218 halaman


Minggu, 28 Mei 2017

Mencintai Nulis Boleh, tapi Membenci Riset, Jangan!

Sumber: writing.com
Enaknya, kalau orang sedang menulis itu, menuliskan apa yang telah dirasakan dan punya pengalaman sebelumnya, terus memberi solusi atas pengalaman tersebut. Kalau lebih beruntung, bisa berkunjung ke tempat wisata, restoran, terus menuliskan hasil reportasenya. Gampang 'kan 

Tapi, tulisan yang punya keutamaan--alias tulisan-tulisan yang berkualitas, adalah karya yang dihasilkan setelah melewati tahapan-tahapan yang bernama riset. Artinya, kita dituntut untuk membaca artikel-artikel yang terhampar di berbagai sumber, yang berkaitan dengan itu. Berarti, nggak bakalan cukup kalau kita sekadar melahap bacaan, lalu ditulis ala kadarnya, bukan?

Ya, seperti yang saya lakukan akhir-akhir ini. Tiada hari tanpa riset. Kalau cuma mengandalkan pengalaman, apa mungkin tulisan-tulisan saya akan lebih bermutu? Belum tentu! Bahkan, harus dilakukan oleh seorang penulis maupun blogger, meskipun yang diriset adalah hal-hal yang "dibenci". Misalnya saja, tentang Vlog, padahal saya jarang menonton video di laptop pribadiku, malah saya nonton Vlog di televisi. Biasa, menghemat kuota paket saya, hehe :D

Mengapa demikian? Tak lain dan tak bukan, tentu saja biar isi tulisan kita nggak "ngasal" (ah, kayak waktu mengerjakan ulangan di sekolah), dan kita tidak dianggap sebagai pribadi sok tahu, merasa pendapat kita yang paling benar. Selain itu, agar tulisan yang akan dipublikasikan nanti, bisa dipercaya oleh para pembacanya.

Makanya, kalau ingin jadi penulis yang baik, janganlah terlalu sombong dan membanggakan diri, apalagi sampai menolak untuk menerima saran dan kritikan dari pembacanya, meskipun dalam hal-hal kecil seperti materi dan penulisan yang kurang tepat. Bukankah lewat kesalahan dan kekurangan dalam menulis, kita justru ditempa menjadi penulis yang karya-karyanya "berkembang"?

Duuh, rasanya, demi mencapai kesempurnaan, saya harus lebih siap untuk menyiapkan materi, dan berhati-hati dalam menulis nih....

Salam hangat dan sampai jumpa lagi!

Minggu, 14 Mei 2017

Mengedit Foto, Cara Terbaik Mempermanis Ilustrasi Tulisan

Selain menulis, salah satu aktivitas sering saya lakoni adalah mengedit foto. Yup, memang dari zaman SMA saya sudah menyukai kegiatan yang satu ini. Kalau dari awal-awal yang diedit adalah foto diriku sendiri dan teman-teman di sekolah, serta kartun hewan dan animasi muslimah, sekarang malah merembet ke hal-hal lain, dari buku-buku bahkan kegiatan reportase seperti makan-makan di KFC! :D

Soalnya, walaupun saya tidak berarti membenci menyisipkan foto apa adanya, namun kalau ngedit foto, hasil gambarnya akan lebih menarik dan nggak ngebosenin. Selain itu, tentu saja biar nggak memperlihatkan hal-hal yang melanggar aturan dan syari'at. Ya, seperti yang saya alami ketika menghadapi masalah menentukan ilustrasi foto untuk lomba blog, yang pada akhirnya saya memutuskan untuk menggunakan collage biar ilustrasinya menarik dan bisa dipertegas lagi!

Salah satu ilustrasi tulisan untuk lomba blog

Nah, mengapa saya suka mengedit foto? Karena saya suka gambar, dan tentunya saya lebih menginginkan gambar jadi lebih berkesan untuk melengkapi sebuah tulisan. Kurasa, ada benarnya deh, jika dihubungkan dengan potensi kecerdasan, kecerdasanku di bidang visual-spasial lumayan, tapi nggak menonjol. Coba aja kalau punya kecerdasan visual lebih, selangkah lagi saya bisa berkarya di bidang desain visual dan grafis!

Oh ya, dalam mengedit foto, jika menggunakan apilkasi komputer, saya biasanya pakai Photoscape, kadang pakai  aplikasi bawaan dari Windows, Paint. Mengapa saya tak pakai Photoshop? Karena menurutku penggunaannya ribet, dan aplikasinya juga lumayan rumit!

Kalau di web, saya pernah pakai Muzy.com untuk mengedit kartun muslimah dan gambar berisikan ayat-ayat Qur'an, tapi semenjak jadi aplikasi di Android, saya malas menggunakannya. Kalau ngedit di hapeku, pasti berat kalau nginstal, hehe :D

Selain di Muzy.com, saya juga ngedit foto di photofacefun.com, pizap.com, dan masih banyak lagi aplikasi web yang saya lupa alamatnya apa. Dari sekian banyak foto-foto yang saya edit, salah satunya dibingkai dan disimpan di dalam kamarku, dan kebanyakan diantaranya tersimpan di hardisk lamaku, belum sempat dipindah ke laptop baruku. Jadi, dengan banyak foto-foto tersebut, 'kan jadi banyak varian untuk mempercantik isi tulisan!

Oleh karena itu, kalau belum terbiasa, yuk, edit foto-foto kalian, sesuka hatimu. Manfaatkan fasilitas edit foto yang telah tersedia. Tentu saja, foto yang bisa memberi manfaat untuk melengkapi artikel sekalian untuk memunculkan gagasan tulisanmu lewat gambar jepretan kamera tersebut, bukan sekadar foto-foto selfie lebay dan pamer diri kalian yang berlebihan, yang mungkin saja akan membawa bahaya bagi kehidupanmu kelak!

Salam hangat dan sampai jumpa lagi!

Jumat, 12 Mei 2017

Mengapa Blogku Ada Dua dan Ditulis Terpisah?

 
Oke, saya tegaskan lagi, mengapa saya punya dua blog, bukan satu biar mudah diurusi? Atau jika ada pertanyaan yang ditujukan kepadaku, seperti ini:

"Kamu menulis di Kompasiana terus, kapan nulis di blog kamu sendiri?"

"Aduuuh, sepi bacanya, sebaiknya jangan buat blog sendiri!"

Hmmm, iya juga sih, tapi bagiku tentu ada alasan tertentu. Seperti yang saya tulis di awal-awal punya blog pribadi, saya memutuskan untuk membuat blog sendiri karena saya tinggal di daerah pedalaman yang tidak dikenal, hehe :D Kabupaten tempat tinggalku saja termasuk land lock, tak terhubung dengan laut, apalagi kota kecil dekat rumahku!

Memang, di mana-mana selalu ada ide tulisan yang terlintas di kepalaku. Inspirasinya, siapa yang tahu? Siapapun dan obyek apapun bisa dijadikan bahan tulisan. Tapi karena alasan tema dan kualitas tulisan, makanya artikel-artikel saya, harus ditentukan, mana yang layak diunggah di Kompasiana atau di blog pribadiku. Terlebih lagi saya sudah memegang verifikasi biru, jadi saya tidak sembarangan lagi untuk menulis di platform blog sosial tersebut!

Oke, saya fokus ke tema. Memiliki dua hal yang berbeda antara passion dan bidang yang saya tekuni, belum lagi hal-hal lainnya yang dijelaskan untuk kalangan khusus, membuatku harus menulis artikel di dua blog yang tentunya terpisah. Mengapa demikian?

Sebab, blog pribadiku, yang beralamat dewiwiddie.blogspot.com ini lebih menyajikan hal-hal kedaerahan, keislaman, dan tentunya di dunia kepustakaan. Misalnya, bedah buku bersama penulis lokal, bazar buku murah, resensi buku (utamakan yang jarang ditulis) dan lain sebagainya.

Sedangkan untuk akun blog kompasiana.com/dewiwiddie , awalnya dua tahun lalu saya belajar menulis di blog tersebut. Namun, saya slogan blognya berganti jadi Beyond Blogging, saya memutuskan untuk menulis yang "lebih serius" dan sangat berhati-hati. Makanya, saya berfokus pada passion saya, yaitu media dan psikologi. Kadang saya menulis puisi dan artikel tentang kehidupan sekolah.

Terus, jika saya ikutan lomba? Ya saya biasanya ikutan lomba jika ada tema yang bisa saya tulis. Kadang harus tayang di akun Kompasiana saya, kadang di blog pribadi. Bulan Maret lalu, saya mendapatkan undangan dari salah satu situs belanja online via e-mail. Dan, salah satu kententuannya, ya harus mem-posting tulisannya lewat blog pribadi. Alhamdulillah, untung saya lebih dulu punya!

Salah satu tulisan lomba yang ditayangkan di blog pribadi.


Ya, terlepas dari apapun itu, idealnya saya tetap untuk belajar menulis,  tak peduli di manapun blog yang saya punya. Belajar merangkaikan kata-kata untuk disampaikan kepada pembaca. Bukankah semakin berlatih akan semakin lancar untuk menulis. Jadi bukan soal punya atau tidak bakat menulis--karena bakat adalah anugerah tersendiri--namun bagaiamana untuk mengabadikan yang terbaik lewat karya (bagiku yang penting nggak melanggar syariat), dan ber-azzam untuk tetap berbagi ^_^

Salam hangat dan sampai jumpa lagi!

 

Kamis, 11 Mei 2017

Mengintip Bazar Buku Murah di Perpusda Metro

Sebenarnya,saat bazar buku yang diadakan di Perpusda Metro tersebut dibuka tanggal 8 Mei, saya malah terlalu fokus ke KFC untuk me-review menu terbaru untuk keperluan lomba blog. Jadi, ke Perpusda akhirnya terlupakan. Nyesel deh jadinya. Padahal jarak KFC ke Perpusda deket lho, nggak nyampe 100 meter, saya sudah sampai di sana!

Bersuyukurlah situs berita Jejamo.com memberitakan tentang event tersebut. Ya, sudah lama sekali bazar buku murah tak hadir di kota Metro. Di awal-awal tahun 2016 kalau nggak salah, sempat diadakan, namun setelah itu tak ada lagi para pedagang yang mau menjual buku-buku dengan harga murah. Apalagi ditambah ada kabar kalau Gramedia tidak mengadakan bazar bukunya di Bandar Lampung, melainkan di Pringsewu yang jauh dari rumahku. Yahhh...

Ya, saya baru tahu dari kemarin. Setelah tahu kabar tersebut, langsung saya bergegas ke Metro lagi! Di tengah perjalanan, saya sempat kepikiran, apakah bazar buku masih buka atau sudah tutup? Pasalnya, tak seperti bazar yang dulu-dulu, di bazar kali ini tak ada poster pemberitahuan yang dipasang di pohon-pohon atau tiang-tiang di pusat kota!

Dan, sesampainya di terminal kota, saya berjalan kaki menuju Perpusda. Ternyata, bazar bukunya masih buka! Saya lihat, ada beberapa pelajar yang sibuk memilh buku-bukunya. Ada juga mahasiswa, juga masyarakat umum yang mencarikan bahan bacaan untuk kehidupan mereka.

Di bazar buku kali ini, ada ratusan buku-buku yang beragam sesuai bidangnya. Mulai dari novel, keislaman, kesehatan, kamus, biografi, parenting, juga komik. Ada juga satu buku yang saya lihat, ditulis dalam bahasa Inggris (waah, buku bagus bagi yang suka tantangan baca buku asing, haha :D) Sayangnya, buku anak-anak malah ludes lebih dulu. Dan kata penjualnya, ya dari awal sudah diserbu, dan belum akan didatangkan kembali.


Ya, walaupun buku-buku lama, toh tak mengurangi antusias mereka untuk berburu buku murah. Karena, yang namanya buku pasti mengandung sesuatu yang bermanfaat. Sayangnya, saya malah kesulitan mencari buku-buku berfaedah sesuai minatku, terlebih lagi buku-buku sebagai referensi dan inspirasi menulisku. Dan pada akhirnya saya membeli dua buku yang semoga aja akan berguna dihidupku kedepannya, aamiiin...

Oh ya, sama seperti bazar buku di Perpusda sebelumnya, kesemua buku-buku tersebut, dikelompokkan terus digantung harga bukunya pakai tali, dari atas tenda, seperti yang terlihat di foto-foto ini:

Tapi, ada yang berbeda dari segi penyelenggaraannnya. Jika penyelenggaraan bazar buku di Perpusda Metro adalah agency, kali ini penjual buku yang bernama Azril inilah yang akan menggelar bazar buku murahnya. Dan demi misinya untuk meningkatkan minat baca, beliau sampai berkeliling, berkunjung ke kota-kota di provinsi lain, lho!

Azril, sang penjual bazar buku di Perpusda
Saya tanya ke beliau, sampai kapan bazar buku ini dibuka? Beliau jawab bahwa bazar buku akan dibuka sampai sebulan ke depan. Jadi, jangan khawatir jika takut bazar buku akan tutup, ya!

Nah, jika kalian punya waktu luang, apalagi di hari libur seperti sekarang ini, ayo, ajak keluarga, sahabat, atau pasangan ke bazar buku di Perpusda! Diharapkan, semoga buku-buku murah yang dipamerkan akan mengantar negara kita menjadi lebih maju. Salam literasi!

Salam hangat dan sampai jumpa lagi! ^_^

Kamis, 23 Maret 2017

Desi, “Malaikat Penolong” yang Menjelma Menjadi Sahabatku

Maret 23, 2017 Nahariyha Dewiwiddie
Aku dan sahabatku, Desi, saat hari Kartini tahun 2013/ dok @delizaliana dengan editan dari penulis

Hari-hari saat aku bersamamu sahabat
Telah lama waktu yang kita lewati bersama
Ku sadari, masa itu, masa-masa terindah
Dalam sukaku dalam dukaku, engkau selalu ada

(Sahabat – Ali Sastra)

Mendengar lagu nasyid di atas, membawaku pada kenangan bersama sahabat yang kusayangi. Tidak hanya di dalam memori benakku, aku juga berkali-kali memandang foto pernikahan sahabatku yang telah terbingkai, terpajang di dalam kamarku. Saking rindunya pada sahabatku, sampai terbawa ke alam mimpi, bertemu di sebuah angkot!

Duuh, sungguh, aku rindu berat padaku, wahai sahabatku....

Oh ya, sosok sahabat yang kurindukan, yang paling dikagumi seumur hidupku adalah dia yang selalu menemaniku di setiap langkahku, dalam suka dan dukaku. Dia jugalah yang berhasil membangkitkanku untuk terus bertahan menjalani kehidupan awal sekolah yang menurutku, kisah yang sangat menyakitkan, dan meloloskanku masuk jurusan yang telah kuimpikan sejak lama.

Desi, begitulah nama sahabatku. Dia adalah seorang wanita, dari desa di pinggiran kecamatan tempat kediamanku berada. Desa tersebut, yang dimana tempat sahabatku ini berasal, juga dilewati sebuah dam, dimana sungai-sungai besar mengalir dan menyalurkan irigasi, ke sawah-sawah para petani.

Aku telah mengenal sahabatku justru dimana kami ditakdirkan untuk menjadi teman sekelas, X.4. Sebenarnya, kami bertemu pertama kalinya saat kami sama-sama bersekolah di sebuah SMP Negeri, namun hanya sebatas obrolan saja. Di kelas sepuluh di sebuah SMA Negeri itulah, aku mulai mengenalnya lebih dalam, dan menjadi teman baginya. Dari sebuah sekolah jugalah, cerita persahabatan kami bermula.

TEMAN YANG BERHASIL MEMBANGKITKAN KEHIDUPAN AWAL SEKOLAHKU

Ingatkah saat ku terpuruk di sini,
Kaulah yang selalu di sisiku
Terima kasih telah menjadi bagian yang berarti 'tuk persahabatan kiiitaaa....

Potongan lirik nasyid di atas, mengingatkanku dengan suatu peristiwa di hidupku. Saat itu, bulan November tahun 2011, saat itulah diriku memiliki akun Facebook untuk pertama kalinya. Aku mulai menambah teman-teman yang pernah kutemui semasa sekolah, juga eksis lewat status-status yang ku tulis. Namun, apa daya, di bulan yang sama, aku justru ditimpa takdir yang buruk. Saat itu aku dipaksa duduk belakang, terlebih lagi sendirian. Aku pun langsung menangis, lalu menumpakan perasaanku di Facebook. Akibatnya bisa ditebak, aku dimusuhi hampir semua teman sekelas!

Tapi, tidak demikian dengan sahabatku, Desi. Dia memang dikirimkan Tuhan untuk menjadi “malaikat penolong” untukku. Seingatku, dia mengirimkan pesan singkat di handphone-ku, untuk menyemangati diriku yang sedang terpuruk.  Setelah masalahku berlalu, akhirnya diriku duduk, sebangku dengannya!

Tidak hanya itu, berkat keberadaannya, aku bisa bertahan dari kehidupan kelas sepuluh yang bagiku, bagaikan di dalam neraka. Bagaimana tidak, di kelas itu, ada sekelompok siswi yang membuatku takut, karena mereka mengejek diriku dan menyakitiku, bahkan tidak suka akan keberadaanku. Akhirnya, saat kenaikan kelas, aku bisa terbebas dari ujian hidup yang tidak menyenangkan itu, dan aku bisa masuk ke kelas yang kuidamkan, jurusan IPA!

RAGAKU DI IPA 3, TAPI HATIKU DI IPA 1

Di tahun kedua dimana aku bersekolah, aku mendapati Desi tidak bersamaku lagi dalam satu kelas. Memang, dia telah berkumpul dengan teman-teman barunya, di XI IPA 1. Sedangkan, diriku, dan teman-teman lainnya, merintis sebuah komunitas baru, XI IPA 3, dimana kami adalah generasi perdananya.

Akan tetapi, walaupun diriku telah dikelilingi oleh teman-teman sekelasku, tetap saja, kebaikan sahabatku tidak akan tergantikan dalam hidupku. Bersyukur, aku dipertemukan dengan mereka yang baik, walaupun mereka sebenarnya tidak begitu akrab denganku.

Karena itulah, sewaktu aku aktif di organiasi KIR (Kelompok Ilmiah Remaja), aku mengajak Desi dan seorang teman lainnya di IPA 1, membentuk sebuah kelompok tersendiri. Di balik keakraban kami bertiga, kami sebenarnya memiliki ambisi tersendiri: mengumpulkan piagam, sebagai tiket untuk melanjutkan kuliah!

Maka, kami pun memutar otak untuk mewujudkan impian kami, di antaranya, mengikuti lomba inovasi teknologi dan karya ilmiah di tingkat kabupaten, provinsi, bahkan sampai lomba yang diselenggarakan oleh LIPI pun kami meniatkan diri untuk ikut serta. Beruntung, kekurangan diriku dalam presentasi, ditutupi oleh kedua sahabatku yang memiliki kemampuan komunikasi yang cukup baik. Bahkan, keterampilan berpikir yang sering aku lakukan, mencari ide untuk karya ilmiah kami, tidak disangka bisa bermanfaat bagiku di masa depan; berguna saat aku menulis kreatif di platform blog!

Tidak hanya saat berada dalam organisasi KIR, di kehidupan sekolah pun kami bertiga berteman akrab. Bahkan, kami sering mengerjakan tugas sekolah bersama-sama, di rumah kerabat Desi. Ya, hatiku memang dekat dengan IPA 1 ketimbang kelasku sendiri. Sampai kenaikan kelas pun, ketika aku keluar kelas dan mengambil suatu dokumen, diriku sedang bersama dengan kedua temanku di kelas tersebut, bukan teman-teman sekelasku.

KELAS TINGKAT AKHIR, BERKUMPUL JADI SATU KELUARGA

Bersama teman-teman kelas XII IPA 1/ dok. Dupasat dengan editan dari penulis

Ketika kami naik ke kelas XII dan bertemu dengan hari pertama sekolah, kami diacak dan menempati kelas yang telah disediakan. Alhamdulillah, aku dipertemukan lagi dengan Desi di kelas XII IPA 1! Terlebih lagi, aku diterima oleh teman-teman sekelasku yang baik hati, diperlakukan layaknya anggota, menjadi satu keluarga besar!

Pada saat itu pula, kami berdua bersama teman di kelas sebelah, melanjutkan proyek lama yang sedang kami rintis sewaktu kelas XI; mengikuti lomba karya ilmiah. Sayangnya, kami hanya mendapatkan sedikit piagam penghargaan, dan karya kami belum lolos ke babak selanjutnya. Bandingkan, ketika diriku bersama tiga teman lain, dimana kami meraih juara 1 lomba karya ilmiah se-Kabupaten berlambang tugu Pepadun dan Kopiah Emas itu!

Tahun 2014, karena kami lebih fokus ke UN dan persiapan untuk melanjutkan kuliah, akhirnya kegiatan penelitian kami harus berakhir. Walaupun demikian, hubungan pertemanan kami tidak memudar begitu saja. Sebaliknya, aku dan Desi bisa berbahagia bersama teman-teman lainnya dalam satu kelas, tentunya dengan beragam cerita yang tidak bisa dijelaskan satu per satu.

MENGAPA DIRIKU BEGITU MENYAYANGI SAHABATKU?

Sebagai seorang introvert, menjalin hubungan pertemanan dengan orang lain tidaklah mudah, karena si innie sulit untuk berbaur dengan orang lain secara akrab. Ketika dia berhasil menemukan teman yang cocok, dia akan bersikap setia kepada temannya, seumur hidup!

Begitu pun ketika aku berhasil menemukan sahabat sejatiku, Desi. Melihat sikap sahabatku yang satu ini, sudah pasti membuat hatiku luluh, dan menjadi teman akrab untuk selamanya. Mengapa diriku begitu menyayanginya?

1. Selalu Tersenyum, Kalem, dan Ramah
Ketika bertemu dengan orang lain, dia selalu menyebarkan senyuman pada semua orang. Tidak hanya itu, dia juga bersiap kalem dan ramah. Pantas, dia mempunyai banyak teman, bahkan sahabat. Pastinya, dia selalu bahagia karena banyak teman yang menyertainya, dan tidak akan kesepian.

2. Rela Berkorban
Sahabatku yang satu ini bukanlah tipe yang egois. Sebaliknya, dia rela berkorban demi kebahagiaan orang lain. Ya, seperti yang aku lihat, ketika Desi membatalkan niatnya untuk kuliah dan lebih memilih bekerja di Tanoh Menggalo itu. Dia berpikir ke depannya, tentang nasib ketiga adiknya yang masih bersekolah, sehingga di masa depan mereka tidak bernasib seperti dirinya. Nah, keputusan yang diambilnya itulah yang sempat membuatku menangis. Tapi, aku yakin, Tuhan telah memberi jalan yang terbaik untuknya.

3. Bersedia Menyemangati Ketika Sedang Terpuruk, dan Saling Berbagi
Desi memang sahabat yang aku banggakan. Bagaimana tidak, jarang teman yang mengerti keadaanku, suka maupun duka. Di saat aku terjatuh dan sedih, dia selalu menyemangatiku, seperti yang telah saya jelaskan dalam kisah awal sekolahku di atas. Bahkan, ketika aku curhat tentang sesuatu, dia selalu memberi solusi. Termasuk, ketika aku mengeluh tentang ketiadaan inspirasi untuk menulis di blog setelah melihat inovasi barunya, dia selalu menasihatiku: "Sudahlah sobat... pelan-pelan... jangan sedih..."

Tapi, bukan berarti aku selalu memanfaatkan dia, kok. Kami punya kepentingannya sendiri-sendiri. Bahkan, ketika Desi harus mempelajari keterampilan komputer untuk pekerjaannya yang sekarang, dia pernah meminta bantuanku, yang akhirnya aku memberi solusi. Sebuah hubungan yang saling menguntungkan, bukan?

4. Selalu Memaafkan Jika Temannya Melakukan Kesalahan
Jika seseorang melakukan kesalahan, sahabat yang baik tidaklah memutuskan persahabatan itu, bahkan selalu membukakan pintu maaf untuknya. Ya, seperti itulah Desi. Kadang, walaupun aku berkata sembarangan ketika berbicara hal-hal tertentu, dia tidaklah marah. Justru dia memaafkanku ketika aku melakukan kesalahan saat berbicara. Duuuh, betapa indahnya sikap yang seperti itu!

5. Mengajak pada Keimanan dan Kebaikan
Satu hal yang membuatku semakin mengagumi Desi adalah dia memang sahabat yang mengajakku dalam kebaikan dan keimanan pada Allah. Buktinya, saat teman-teman sekelas kami memilih pulang, Desi justru mengajakku masuk ke masjid sekolah, mengikuti ekskul ROHIS.

Dan tidak hanya itu, dia juga mengirimkan pesan singkat padaku yang berisi jadwal kajian di Asrama Haji, Pesantren, yang kesemuanya bertujuan untuk meningkatkan ketakwaan. Apalagi kalau dia sekarang menjalankan ibadah sunnah, termasuk puasa Senin-Kamis. Subhanallaaah, aku tambah senang sekali bersahabat dengannya, persahabatan dalam iman. Kapan ya, aku bisa seperti dia, sehingga diriku menjadi muslimah seutuhnya ?

Semoga kita kelak dipertemukan dalam surgaNya ya sayaaaang.... :)

BUKU, HADIAH YANG PANTAS UNTUK SAHABATKU TERSAYANG

Akhir tahun 2016 lalu, aku mendapatkan kabar gembira. Ya, apalagi kalau bukan sahabatku tercinta, Desi akan menikah pada awal tahun ini! Sungguh, diriku terbawa perasaan, dan aku menyiapkan kado istimewa untuknya, yaitu buku-buku panduan pernikahan dan menyusui, yang telah aku berikan saat resepsi pernikahan. Semoga pernikahanmu selalu abadi ya, Des!

Bersama mempelai perempuan, Desi/ dok.pribadi Desi, dengan editan dari penulis

Memang, aku lihat, saat bersekolah, sahabatku suka membaca buku. Buku yang dibacanya, hanyalah novel yang harganya puluhan ribu, penerbit lokal pula. Sayangnya, dia memang tidak banyak memiliki banyak buku, maklum saja buku harganya mahal. Apalagi sejak dia bekerja di luar kota, malah tidak ada toko buku yang tersedia di sana!

Karena itulah, aku berpikir agar aku bisa mendapatkan dana untuk bisa memenuhi kebutuhanku dan berbagi, termasuk memberi hadiah buku yang bermanfaat bagi kehidupannya. Caranya, ya ikutan kompetisi blog yang sedang kujalani ini. Semoga, apa yang kulakukan ini bisa membuat kehidupan sahabatku menjadi berarti, merasakan manfaat dari membaca sebagaimana yang telah aku buktikan ketika berakrab-akraban dengan buku. Dan dengan bekal ilmu itulah, aku harap rumah tangganya menjadi langgeng dan bahagia, dan tidak bernasib buruk, seperti pernikahan pasangan lain yang harus berakhir hanya karena kurangnya pengetahuan!

***

Suatu hari, aku sesekali merenungi kenanganku bersama sahabatku. Bayangkan, jika Desi tidak sekelas denganku waktu kelas sepuluh, diriku tidak akan bisa bertahan di SMA yang memiliki gedung sekolah yang cukup melingkar panjang itu. Aku tidak bisa berlatih berpikir kreatif sewaktu masih aktif di KIR, dan ujung-ujungnya, aku gagal di dunia blogging; gagal melahirkan tulisan-tulisan yang berkualitas.

Ya, sebagai penutup dan tanda terima dariku, saya kutip reff terakhir dari lirik lagu Ali Sastra, Sahabat, dengan sedikit perubahan lirik olehku (aku mohon maaf dan izinnya ya, Kang Ali...)

Sahabatku tercinta....
terimalah kadoku,
hadirmu selalu memberi bahagiaaaa....
Semoga abadi persahabatan kitaaaa....
Semoga abadi persahabatan kitaaaa....
(*)

*Artikel ini diikutsertakan dalam lomba blog "cerita hepi elevenia".

Senin, 20 Maret 2017

The Family of Dupasat (XII IPA 1)

Maret 20, 2017 Nahariyha Dewiwiddie


Teman-teman Dupasat di SMAN 1 PUNGGUR Lamteng/dok. Dupasat dengan edit seperlunya

XII IPA 1, yang juga disebut Dupasat, memang bukan kelas unggulan, kumpulan siswa-siswi yang cerdas di atas rata-rata. Tapi, soal kekompakannya, jangan ditanya! Bagiku, di kelas itulah saya diterima dan diperlakukan layaknya anggota keluarga dengan baik, bukan sekadar karena ada sahabat setiaku yang baik hati. Faktor itulah yang membuatku sangat bahagia.

Teman-temanku memang sangat baik, meskipun ada hal-hal yang membuat mereka kurang akrab denganku. Mungkin saya orangnya serius ya. Di kelas ini pulalah, saya diajarkan untuk saling berbagi, contohnya saat istirahat tiba dan kami membawa bekal ke sekolah, mereka dengan senang hati menukar menu makanan dan saling mencicipi. Gara-gara hal itu, saya tahu rasanya makan kacang koro, sayur pakis, dan berbagai macam makanan yang tidak saya sebutkan satu per satu.

Saat kami berada di dalam kelas, nonton bareng film maupun dokumenter rasanya seruuuu banget! Begitupun ketika kami merasakan lelah, sehingga tiduran di ruang kosong di belakang bangku kelas. Kebersamaan kami, para alumni IPA 1 tak berhenti hanya di dalam kelas, di luar kelas pun kami tetap kompak, tak terpisahkan satu anggota pun.

Saya teringat, saat kelas kami keluar sebagai juara lomba kebersihan kelas. (Wakil) ketua kelas menawarkan beberapa pilihan yang akhirnya, kami berpesta, makan-makan di rumah wali kelas! Lagi, saya pun merasa dilibatkan di dalamnya, kebagian tempat untuk bonceng motor, karena jarak sekolah ke rumah wali kelas yang cukup jauh. 

Dan tahukah kalian, wali kelasku itu seorang guru Matematika, mata pelajaran yang sering menjadi momok bagi kami. Di samping itu, beliau juga seorang guru agama Kristen di sekolahku, ya meskipun di kelas kami yang berjumlah 29 siswa itu, hampir semuanya muslim, dan hanya satu siswi yang beragama Katolik. Oiiii, betapa indahnya kebersamaan itu!

Selain bersilaturahmi ke rumah wali kelas, kami juga berkelana ke beberapa rumah guru lainnya. Bahkan, sebelum kami masuk ke rumah guru Fisika, kami sempat mencicip jambu biji yang memang tumbuh dari pohon, di depan rumah. Memang, walaupun kami kadang bandel, toh kami tidak melupakan guru-guru yang mengajarkan kami ilmu yang bermanfaat.

Ya, tidak hanya teman-teman yang merasakan hawa kebersamaan itu. Saya sendiri merasa terbayang dengan kata-kata teman sekelas yang menjadi penyemangat dalam setiap langkahku, karena saya menyadari kalimat mereka yang dibisikkan padaku benar adanya. Bagaimana tidak, saat duduk bersama teman sebangku, dia pernah mengatakan padaku, bahwa diriku punya kelebihan di bidang bahasa. Begitu pula ketika saya baca dokumen Cerita di Akhir Sekolah yang menggambarkan diriku sebagai pribadi yang unik, baik, dan berwawasan luas.

Dua kalimat itulah yang mengantarku cukup sukses di dunia kepenulisan—dunia blogging lebih tepatnya—meskipun saya merasa belum apa-apanya dibanding blogger yang cukup piawai menulis dengan sangat mendalam, apalagi yang sering menang lomba blog! Pemikirannya yang cukup unik, berwawasan (karena saya rajin baca), serta kemampuan menyusun beragam diksi itulah yang membuat tulisan saya cukup diterima baik oleh para pembaca, ya walaupun diriku merasa belum puas atas hasil tulisanku itu. 

Hmmm, benar juga ya, kata-kata adalah sebuah doa! 

Setelah lebih dari 2 tahun berpisah, saya masih berpikir, bagaimana kabar teman-temanku sekarang ini. Ya, mereka telah berpencar ke mana-mana. Dan yang kuliah di universitas, kebanyakan dari mereka memilih menjadi guru. Ada juga yang kuliah perbankan, ekonomi Islam, dan jurusan pertanian. Banyak dari mereka yang bekerja di luar kota, bahkan ada yang sampai di Pulau Jawa. Dan, saya sendiri adalah satu-satunya alumni Dupasat yang suka ngeblog—menulis di dua blog (Kompasiana dan blog pribadi), di samping merangkap jadi mahasiswi Perpustakaan.

Oke, sekian dulu ceritaku bersama mereka, The Family of Dupasat. Lain kali, kalau lagi kangen-kangenan, jangan lupa, buka album kenangan!

Total Tayangan Halaman

Cari Blog Ini