Kamis, 23 Maret 2017

Desi, “Malaikat Penolong” yang Menjelma Menjadi Sahabatku

Maret 23, 2017 Nahariyha Dewiwiddie
Aku dan sahabatku, Desi, saat hari Kartini tahun 2013/ dok @delizaliana dengan editan dari penulis

Hari-hari saat aku bersamamu sahabat
Telah lama waktu yang kita lewati bersama
Ku sadari, masa itu, masa-masa terindah
Dalam sukaku dalam dukaku, engkau selalu ada

(Sahabat – Ali Sastra)

Mendengar lagu nasyid di atas, membawaku pada kenangan bersama sahabat yang kusayangi. Tidak hanya di dalam memori benakku, aku juga berkali-kali memandang foto pernikahan sahabatku yang telah terbingkai, terpajang di dalam kamarku. Saking rindunya pada sahabatku, sampai terbawa ke alam mimpi, bertemu di sebuah angkot!

Duuh, sungguh, aku rindu berat padaku, wahai sahabatku....

Oh ya, sosok sahabat yang kurindukan, yang paling dikagumi seumur hidupku adalah dia yang selalu menemaniku di setiap langkahku, dalam suka dan dukaku. Dia jugalah yang berhasil membangkitkanku untuk terus bertahan menjalani kehidupan awal sekolah yang menurutku, kisah yang sangat menyakitkan, dan meloloskanku masuk jurusan yang telah kuimpikan sejak lama.

Desi, begitulah nama sahabatku. Dia adalah seorang wanita, dari desa di pinggiran kecamatan tempat kediamanku berada. Desa tersebut, yang dimana tempat sahabatku ini berasal, juga dilewati sebuah dam, dimana sungai-sungai besar mengalir dan menyalurkan irigasi, ke sawah-sawah para petani.

Aku telah mengenal sahabatku justru dimana kami ditakdirkan untuk menjadi teman sekelas, X.4. Sebenarnya, kami bertemu pertama kalinya saat kami sama-sama bersekolah di sebuah SMP Negeri, namun hanya sebatas obrolan saja. Di kelas sepuluh di sebuah SMA Negeri itulah, aku mulai mengenalnya lebih dalam, dan menjadi teman baginya. Dari sebuah sekolah jugalah, cerita persahabatan kami bermula.

TEMAN YANG BERHASIL MEMBANGKITKAN KEHIDUPAN AWAL SEKOLAHKU

Ingatkah saat ku terpuruk di sini,
Kaulah yang selalu di sisiku
Terima kasih telah menjadi bagian yang berarti 'tuk persahabatan kiiitaaa....

Potongan lirik nasyid di atas, mengingatkanku dengan suatu peristiwa di hidupku. Saat itu, bulan November tahun 2011, saat itulah diriku memiliki akun Facebook untuk pertama kalinya. Aku mulai menambah teman-teman yang pernah kutemui semasa sekolah, juga eksis lewat status-status yang ku tulis. Namun, apa daya, di bulan yang sama, aku justru ditimpa takdir yang buruk. Saat itu aku dipaksa duduk belakang, terlebih lagi sendirian. Aku pun langsung menangis, lalu menumpakan perasaanku di Facebook. Akibatnya bisa ditebak, aku dimusuhi hampir semua teman sekelas!

Tapi, tidak demikian dengan sahabatku, Desi. Dia memang dikirimkan Tuhan untuk menjadi “malaikat penolong” untukku. Seingatku, dia mengirimkan pesan singkat di handphone-ku, untuk menyemangati diriku yang sedang terpuruk.  Setelah masalahku berlalu, akhirnya diriku duduk, sebangku dengannya!

Tidak hanya itu, berkat keberadaannya, aku bisa bertahan dari kehidupan kelas sepuluh yang bagiku, bagaikan di dalam neraka. Bagaimana tidak, di kelas itu, ada sekelompok siswi yang membuatku takut, karena mereka mengejek diriku dan menyakitiku, bahkan tidak suka akan keberadaanku. Akhirnya, saat kenaikan kelas, aku bisa terbebas dari ujian hidup yang tidak menyenangkan itu, dan aku bisa masuk ke kelas yang kuidamkan, jurusan IPA!

RAGAKU DI IPA 3, TAPI HATIKU DI IPA 1

Di tahun kedua dimana aku bersekolah, aku mendapati Desi tidak bersamaku lagi dalam satu kelas. Memang, dia telah berkumpul dengan teman-teman barunya, di XI IPA 1. Sedangkan, diriku, dan teman-teman lainnya, merintis sebuah komunitas baru, XI IPA 3, dimana kami adalah generasi perdananya.

Akan tetapi, walaupun diriku telah dikelilingi oleh teman-teman sekelasku, tetap saja, kebaikan sahabatku tidak akan tergantikan dalam hidupku. Bersyukur, aku dipertemukan dengan mereka yang baik, walaupun mereka sebenarnya tidak begitu akrab denganku.

Karena itulah, sewaktu aku aktif di organiasi KIR (Kelompok Ilmiah Remaja), aku mengajak Desi dan seorang teman lainnya di IPA 1, membentuk sebuah kelompok tersendiri. Di balik keakraban kami bertiga, kami sebenarnya memiliki ambisi tersendiri: mengumpulkan piagam, sebagai tiket untuk melanjutkan kuliah!

Maka, kami pun memutar otak untuk mewujudkan impian kami, di antaranya, mengikuti lomba inovasi teknologi dan karya ilmiah di tingkat kabupaten, provinsi, bahkan sampai lomba yang diselenggarakan oleh LIPI pun kami meniatkan diri untuk ikut serta. Beruntung, kekurangan diriku dalam presentasi, ditutupi oleh kedua sahabatku yang memiliki kemampuan komunikasi yang cukup baik. Bahkan, keterampilan berpikir yang sering aku lakukan, mencari ide untuk karya ilmiah kami, tidak disangka bisa bermanfaat bagiku di masa depan; berguna saat aku menulis kreatif di platform blog!

Tidak hanya saat berada dalam organisasi KIR, di kehidupan sekolah pun kami bertiga berteman akrab. Bahkan, kami sering mengerjakan tugas sekolah bersama-sama, di rumah kerabat Desi. Ya, hatiku memang dekat dengan IPA 1 ketimbang kelasku sendiri. Sampai kenaikan kelas pun, ketika aku keluar kelas dan mengambil suatu dokumen, diriku sedang bersama dengan kedua temanku di kelas tersebut, bukan teman-teman sekelasku.

KELAS TINGKAT AKHIR, BERKUMPUL JADI SATU KELUARGA

Bersama teman-teman kelas XII IPA 1/ dok. Dupasat dengan editan dari penulis

Ketika kami naik ke kelas XII dan bertemu dengan hari pertama sekolah, kami diacak dan menempati kelas yang telah disediakan. Alhamdulillah, aku dipertemukan lagi dengan Desi di kelas XII IPA 1! Terlebih lagi, aku diterima oleh teman-teman sekelasku yang baik hati, diperlakukan layaknya anggota, menjadi satu keluarga besar!

Pada saat itu pula, kami berdua bersama teman di kelas sebelah, melanjutkan proyek lama yang sedang kami rintis sewaktu kelas XI; mengikuti lomba karya ilmiah. Sayangnya, kami hanya mendapatkan sedikit piagam penghargaan, dan karya kami belum lolos ke babak selanjutnya. Bandingkan, ketika diriku bersama tiga teman lain, dimana kami meraih juara 1 lomba karya ilmiah se-Kabupaten berlambang tugu Pepadun dan Kopiah Emas itu!

Tahun 2014, karena kami lebih fokus ke UN dan persiapan untuk melanjutkan kuliah, akhirnya kegiatan penelitian kami harus berakhir. Walaupun demikian, hubungan pertemanan kami tidak memudar begitu saja. Sebaliknya, aku dan Desi bisa berbahagia bersama teman-teman lainnya dalam satu kelas, tentunya dengan beragam cerita yang tidak bisa dijelaskan satu per satu.

MENGAPA DIRIKU BEGITU MENYAYANGI SAHABATKU?

Sebagai seorang introvert, menjalin hubungan pertemanan dengan orang lain tidaklah mudah, karena si innie sulit untuk berbaur dengan orang lain secara akrab. Ketika dia berhasil menemukan teman yang cocok, dia akan bersikap setia kepada temannya, seumur hidup!

Begitu pun ketika aku berhasil menemukan sahabat sejatiku, Desi. Melihat sikap sahabatku yang satu ini, sudah pasti membuat hatiku luluh, dan menjadi teman akrab untuk selamanya. Mengapa diriku begitu menyayanginya?

1. Selalu Tersenyum, Kalem, dan Ramah
Ketika bertemu dengan orang lain, dia selalu menyebarkan senyuman pada semua orang. Tidak hanya itu, dia juga bersiap kalem dan ramah. Pantas, dia mempunyai banyak teman, bahkan sahabat. Pastinya, dia selalu bahagia karena banyak teman yang menyertainya, dan tidak akan kesepian.

2. Rela Berkorban
Sahabatku yang satu ini bukanlah tipe yang egois. Sebaliknya, dia rela berkorban demi kebahagiaan orang lain. Ya, seperti yang aku lihat, ketika Desi membatalkan niatnya untuk kuliah dan lebih memilih bekerja di Tanoh Menggalo itu. Dia berpikir ke depannya, tentang nasib ketiga adiknya yang masih bersekolah, sehingga di masa depan mereka tidak bernasib seperti dirinya. Nah, keputusan yang diambilnya itulah yang sempat membuatku menangis. Tapi, aku yakin, Tuhan telah memberi jalan yang terbaik untuknya.

3. Bersedia Menyemangati Ketika Sedang Terpuruk, dan Saling Berbagi
Desi memang sahabat yang aku banggakan. Bagaimana tidak, jarang teman yang mengerti keadaanku, suka maupun duka. Di saat aku terjatuh dan sedih, dia selalu menyemangatiku, seperti yang telah saya jelaskan dalam kisah awal sekolahku di atas. Bahkan, ketika aku curhat tentang sesuatu, dia selalu memberi solusi. Termasuk, ketika aku mengeluh tentang ketiadaan inspirasi untuk menulis di blog setelah melihat inovasi barunya, dia selalu menasihatiku: "Sudahlah sobat... pelan-pelan... jangan sedih..."

Tapi, bukan berarti aku selalu memanfaatkan dia, kok. Kami punya kepentingannya sendiri-sendiri. Bahkan, ketika Desi harus mempelajari keterampilan komputer untuk pekerjaannya yang sekarang, dia pernah meminta bantuanku, yang akhirnya aku memberi solusi. Sebuah hubungan yang saling menguntungkan, bukan?

4. Selalu Memaafkan Jika Temannya Melakukan Kesalahan
Jika seseorang melakukan kesalahan, sahabat yang baik tidaklah memutuskan persahabatan itu, bahkan selalu membukakan pintu maaf untuknya. Ya, seperti itulah Desi. Kadang, walaupun aku berkata sembarangan ketika berbicara hal-hal tertentu, dia tidaklah marah. Justru dia memaafkanku ketika aku melakukan kesalahan saat berbicara. Duuuh, betapa indahnya sikap yang seperti itu!

5. Mengajak pada Keimanan dan Kebaikan
Satu hal yang membuatku semakin mengagumi Desi adalah dia memang sahabat yang mengajakku dalam kebaikan dan keimanan pada Allah. Buktinya, saat teman-teman sekelas kami memilih pulang, Desi justru mengajakku masuk ke masjid sekolah, mengikuti ekskul ROHIS.

Dan tidak hanya itu, dia juga mengirimkan pesan singkat padaku yang berisi jadwal kajian di Asrama Haji, Pesantren, yang kesemuanya bertujuan untuk meningkatkan ketakwaan. Apalagi kalau dia sekarang menjalankan ibadah sunnah, termasuk puasa Senin-Kamis. Subhanallaaah, aku tambah senang sekali bersahabat dengannya, persahabatan dalam iman. Kapan ya, aku bisa seperti dia, sehingga diriku menjadi muslimah seutuhnya ?

Semoga kita kelak dipertemukan dalam surgaNya ya sayaaaang.... :)

BUKU, HADIAH YANG PANTAS UNTUK SAHABATKU TERSAYANG

Akhir tahun 2016 lalu, aku mendapatkan kabar gembira. Ya, apalagi kalau bukan sahabatku tercinta, Desi akan menikah pada awal tahun ini! Sungguh, diriku terbawa perasaan, dan aku menyiapkan kado istimewa untuknya, yaitu buku-buku panduan pernikahan dan menyusui, yang telah aku berikan saat resepsi pernikahan. Semoga pernikahanmu selalu abadi ya, Des!

Bersama mempelai perempuan, Desi/ dok.pribadi Desi, dengan editan dari penulis

Memang, aku lihat, saat bersekolah, sahabatku suka membaca buku. Buku yang dibacanya, hanyalah novel yang harganya puluhan ribu, penerbit lokal pula. Sayangnya, dia memang tidak banyak memiliki banyak buku, maklum saja buku harganya mahal. Apalagi sejak dia bekerja di luar kota, malah tidak ada toko buku yang tersedia di sana!

Karena itulah, aku berpikir agar aku bisa mendapatkan dana untuk bisa memenuhi kebutuhanku dan berbagi, termasuk memberi hadiah buku yang bermanfaat bagi kehidupannya. Caranya, ya ikutan kompetisi blog yang sedang kujalani ini. Semoga, apa yang kulakukan ini bisa membuat kehidupan sahabatku menjadi berarti, merasakan manfaat dari membaca sebagaimana yang telah aku buktikan ketika berakrab-akraban dengan buku. Dan dengan bekal ilmu itulah, aku harap rumah tangganya menjadi langgeng dan bahagia, dan tidak bernasib buruk, seperti pernikahan pasangan lain yang harus berakhir hanya karena kurangnya pengetahuan!

***

Suatu hari, aku sesekali merenungi kenanganku bersama sahabatku. Bayangkan, jika Desi tidak sekelas denganku waktu kelas sepuluh, diriku tidak akan bisa bertahan di SMA yang memiliki gedung sekolah yang cukup melingkar panjang itu. Aku tidak bisa berlatih berpikir kreatif sewaktu masih aktif di KIR, dan ujung-ujungnya, aku gagal di dunia blogging; gagal melahirkan tulisan-tulisan yang berkualitas.

Ya, sebagai penutup dan tanda terima dariku, saya kutip reff terakhir dari lirik lagu Ali Sastra, Sahabat, dengan sedikit perubahan lirik olehku (aku mohon maaf dan izinnya ya, Kang Ali...)

Sahabatku tercinta....
terimalah kadoku,
hadirmu selalu memberi bahagiaaaa....
Semoga abadi persahabatan kitaaaa....
Semoga abadi persahabatan kitaaaa....
(*)

*Artikel ini diikutsertakan dalam lomba blog "cerita hepi elevenia".

Senin, 20 Maret 2017

The Family of Dupasat (XII IPA 1)

Maret 20, 2017 Nahariyha Dewiwiddie


Teman-teman Dupasat di SMAN 1 PUNGGUR Lamteng/dok. Dupasat dengan edit seperlunya

XII IPA 1, yang juga disebut Dupasat, memang bukan kelas unggulan, kumpulan siswa-siswi yang cerdas di atas rata-rata. Tapi, soal kekompakannya, jangan ditanya! Bagiku, di kelas itulah saya diterima dan diperlakukan layaknya anggota keluarga dengan baik, bukan sekadar karena ada sahabat setiaku yang baik hati. Faktor itulah yang membuatku sangat bahagia.

Teman-temanku memang sangat baik, meskipun ada hal-hal yang membuat mereka kurang akrab denganku. Mungkin saya orangnya serius ya. Di kelas ini pulalah, saya diajarkan untuk saling berbagi, contohnya saat istirahat tiba dan kami membawa bekal ke sekolah, mereka dengan senang hati menukar menu makanan dan saling mencicipi. Gara-gara hal itu, saya tahu rasanya makan kacang koro, sayur pakis, dan berbagai macam makanan yang tidak saya sebutkan satu per satu.

Saat kami berada di dalam kelas, nonton bareng film maupun dokumenter rasanya seruuuu banget! Begitupun ketika kami merasakan lelah, sehingga tiduran di ruang kosong di belakang bangku kelas. Kebersamaan kami, para alumni IPA 1 tak berhenti hanya di dalam kelas, di luar kelas pun kami tetap kompak, tak terpisahkan satu anggota pun.

Saya teringat, saat kelas kami keluar sebagai juara lomba kebersihan kelas. (Wakil) ketua kelas menawarkan beberapa pilihan yang akhirnya, kami berpesta, makan-makan di rumah wali kelas! Lagi, saya pun merasa dilibatkan di dalamnya, kebagian tempat untuk bonceng motor, karena jarak sekolah ke rumah wali kelas yang cukup jauh. 

Dan tahukah kalian, wali kelasku itu seorang guru Matematika, mata pelajaran yang sering menjadi momok bagi kami. Di samping itu, beliau juga seorang guru agama Kristen di sekolahku, ya meskipun di kelas kami yang berjumlah 29 siswa itu, hampir semuanya muslim, dan hanya satu siswi yang beragama Katolik. Oiiii, betapa indahnya kebersamaan itu!

Selain bersilaturahmi ke rumah wali kelas, kami juga berkelana ke beberapa rumah guru lainnya. Bahkan, sebelum kami masuk ke rumah guru Fisika, kami sempat mencicip jambu biji yang memang tumbuh dari pohon, di depan rumah. Memang, walaupun kami kadang bandel, toh kami tidak melupakan guru-guru yang mengajarkan kami ilmu yang bermanfaat.

Ya, tidak hanya teman-teman yang merasakan hawa kebersamaan itu. Saya sendiri merasa terbayang dengan kata-kata teman sekelas yang menjadi penyemangat dalam setiap langkahku, karena saya menyadari kalimat mereka yang dibisikkan padaku benar adanya. Bagaimana tidak, saat duduk bersama teman sebangku, dia pernah mengatakan padaku, bahwa diriku punya kelebihan di bidang bahasa. Begitu pula ketika saya baca dokumen Cerita di Akhir Sekolah yang menggambarkan diriku sebagai pribadi yang unik, baik, dan berwawasan luas.

Dua kalimat itulah yang mengantarku cukup sukses di dunia kepenulisan—dunia blogging lebih tepatnya—meskipun saya merasa belum apa-apanya dibanding blogger yang cukup piawai menulis dengan sangat mendalam, apalagi yang sering menang lomba blog! Pemikirannya yang cukup unik, berwawasan (karena saya rajin baca), serta kemampuan menyusun beragam diksi itulah yang membuat tulisan saya cukup diterima baik oleh para pembaca, ya walaupun diriku merasa belum puas atas hasil tulisanku itu. 

Hmmm, benar juga ya, kata-kata adalah sebuah doa! 

Setelah lebih dari 2 tahun berpisah, saya masih berpikir, bagaimana kabar teman-temanku sekarang ini. Ya, mereka telah berpencar ke mana-mana. Dan yang kuliah di universitas, kebanyakan dari mereka memilih menjadi guru. Ada juga yang kuliah perbankan, ekonomi Islam, dan jurusan pertanian. Banyak dari mereka yang bekerja di luar kota, bahkan ada yang sampai di Pulau Jawa. Dan, saya sendiri adalah satu-satunya alumni Dupasat yang suka ngeblog—menulis di dua blog (Kompasiana dan blog pribadi), di samping merangkap jadi mahasiswi Perpustakaan.

Oke, sekian dulu ceritaku bersama mereka, The Family of Dupasat. Lain kali, kalau lagi kangen-kangenan, jangan lupa, buka album kenangan!

Total Tayangan Halaman

Cari Blog Ini