Senin, 23 November 2015

Punggur, Antara Swasembada Beras dan Peralihan Lahan Menjadi Kebun Nanas

November 23, 2015 Nahariyha Dewiwiddie

Saat saya pergi ke Kampung Tanggulangin-ibukota kecamatan Punggur, Lampung Tengah, ada sebuah tugu yang didirikan di pertigaan  jalan, menuju Kotagajah dan Gunung Sugih. Ya, apalagi kalau bukan Tugu Nanas. Begitu bangganya saya, mengingat salah satu desa di kecamatan ini, memang salah satu desa sentra perkebunan nanas di Lampung.

Namun, setelah membaca berita online, barulah saya mengetahui, bahwa banyak petani padi di kecamatan Punggur, yang beralih ke penanaman nanas. Perawatan yang tidak terlalu sulit dan harga jual yang menguntungkan petani, menjadi alasannya. Hal ini bertolak belakang dengan rencana Jokowi untuk kembali menswasembada beras, pada tahun 2017, ditambah lagi dengan harga beras yang semakin mencekik masyarakat.

Memang, saya senang kecamatan tempat saya tinggal bakal menjadi sentra perkebunan nanas lewat monumen buah nanas ini, namun alangkah baiknya jika lahan yang ada di Kecamatan Punggur khususnya, dan di negeri ini pada umumnya, dibagi secara adil dan merata untuk penanaman padi, palawija, sayuran, dan buah-buahan. Jika tidak seimbang, nanti masyarakat mau membeli beras, dan kebutuhan pokok lainnya, dari mana?

Sungguh disayangkan, jika rencana Jokowi untuk meningkatkan hasil tanam padi di negeri ini, justru ditinggalkan petani malah menjadi petani nanas. Seharusnya petani jika bisa, tetap menanam padi, ditambah dengan menanam beras. Jadi, stok beras untuk konsumsi rakyat tetap terjaga, sekaligus tetap dipertahankan sebagai sentra perkebunan nanas.

Sekarang pun rakyat masih menjerit dengan naiknya harga beras, dan sepatutnya hal ini menjadi perhatian dari pemerintah, apalagi para petani. Bayangkan! Di negeri ini, kalau bukan petani yang susah payah merawat padi menjadi gabah, siapa lagi? Daripada bergantung pada impor yang tidak sudah-sudah, lebih baik dihasilkan dari negeri sendiri.

Ya, begitulah kenyataannya, ketika padi tidak menjadi tanaman ‘menguntungkan’ bagi petani, dan sebaliknya, melirik tanaman yang dianggap lebih menjanjikan. Tidak hanya itu, banyak petani yang menyerah dalam mengelola sawah dan dijual tanahnya untuk keperluan lain. Seharusnya ini menjadi tamparan bagi semua pihak agar Indonesia membawa prestasi dalam pertanian, mencapai swasembada beras kembali, sejak tahun 1984 lalu.

Semoga, keadaan ini bisa diperhatikan oleh pemerintah agar produksi beras di Indonesia semakin meningkat dan tidak bergantung pada impor.

Minggu, 15 November 2015

Saya Dapat Ide Menulis Setelah Makan Kacang Pistachio dan Kuaci!

November 15, 2015 Nahariyha Dewiwiddie
 
sumber gambar: wallpaperscraft.com

Yaaa, ketemu lagi dengan tulisan saya di blog ini. kali ini, saya akan berbagi pengalaman yang pernah saya rasakan tentang memakan kacang yang lumayan mahal tapi khasiatnya... ya jangan diragukan lagi! Yup, kacang pistachio! Siapa sih yang kenal kacang impor ini? pasti diantara kalian yang pernah memakannya, bukan?

Bagi saya, ini pengalaman pertama memakan kacang sehat berwarna hijau ini. sebelumnya, saya tentunya pernah dong, makan kacang tanah, mete, almond, kacang kedelai, kacang hijau, sampai mengonsumsi kuaci biji labu dan bunga matahari. Kebetulan, saat saya jalan-jalan sama kakek dan nenek tiri saya di sebuah supermarket di kota kecil, kota Metro, kebetulan, saya menemukan kemasan warna hijau yang ada kacang pistachio. Haaah? Pistachio! Kayaknya ini belum pernah deh saya makan!

Setelah mengambil produk tersebut, barulah saya membayarnya di kasir beserta beberapa barang lainnya. waktu itu sih saya gak tahu harganya, sampai saya mengetahui satu kemasan kacang pistachio ini, harganya 35ribu per satu kemasan! Lumayan mahal memang, secara, ya kacang impor!

Karena penasaran dengan rasanya, saya buka kemasan di sebuah restoran lalu saya kupas kulit putih kerasnya. Kemudian, bijinya yang warna hijau itu saya makan. Ohhh, enak dan gurih!

Setelah lewat sehari, tiba-tiba saya mendapat ide untuk menulis lagi! Waktu itu, saya belum dapat inspirasi setelah saya lama tidak menulis, selama beberapa hari, saya terbayang pada sesuatu yang pernah saya baca, setelah memandang bendera merah putih!

Nah, menurut yang pernah saya baca di olvista.com, kacang pistachio mengandung mineral tembaga, nah tembaga itu baik lho untuk transmisi syaraf di otak.... ohhh, pantas saja!

Selain itu, akhir-akhir ini saya makan kuaci bunga matahari.... enaaaak! Setelah baca berita, saya dapat ide terus saya butuh waktu untuk mengumpulkan bahannya untuk menulis, daaaan saya bisa menuliskannya dengan lancar!

Oiyaa, menurut yang pernah saya baca di Internet, sinarharapan.co, kuaci bunga matahari mengandung vitamin B kompleks dan B6, jadi bagus untuk meningkatkan kapasitas memori, kecerdasan dan sangat berguna deh bagi kinerja otak! oooh.....

Inilah bukti yang pernah saya rasakan setelah makan kacang pistachio dan kuaci, mau manfaat yang lebih banyak lagi? Silakan cari di mesin pencari yaaa... ayo, sekali-sekali, makan camilan yang sehat ini....

Salam hangat dan sampai jumpa lagi!

Selasa, 10 November 2015

Efek dari Membaca, Bisa Dirasakan Nanti!

November 10, 2015 Nahariyha Dewiwiddie
Sumber gambar: fanpop.com

Waktu saya menuliskan opini tentang kepindahan kewarganegaraan, secara tiba-tiba saya teringat apa yang pernah saya baca tentang salah seorang WNI yang tinggal di Inggris di Harian Kompas. Iya, apa yang saya baca itu dapat memperkaya saya dalam membuat opini.

Dan tidak hanya itu, saya pernah membaca tentang event Kompasianival, lalu saya baca tentang ciri-ciri introvert. Dari situlah saya dapat ide, dan akhirnya saya gabung hingga dihasilkan artikel ini. ternyata, apa yang saya baca itu, tidak sia-sia, malah jadi bermanfaat, bukan?

Daaan, masih banyak lagi pengalaman bermanfaat yang didapat dari membaca!

“Membaca adalah jendela dunia”

Kalau kalimat di atas sih gak usah diragukan lagi! Membaca, baik membaca buku maupun situs online yang terpercaya itu bisa membuka pikiran kita dan bisa merasakan pengalaman orang lain. Kita tidak perlu pergi ke suatu tempat untuk merasakan pengalaman itu!

Walaupun tidak bisa dirasakan sekarang, efek dari membaca bisa dirasakan nanti, ketika menuliskan opini yang berkaitan dengan apa yang kita baca. Iya dong! Karena untuk bisa menulis, apalagi menulis yang berbobot, butuh membaca yang lebih banyak! Jangan Cuma jalan-jalan aja dan hadiri seminar doang....

Banyak lho penulis-penulis sukses dan berbakat yang justru gemar membaca dalam kesehariannya. Jangan jauh-jauh deh! Pengelola Kompasiana, kang Pepih Nugraha saja adalah seorang yang gemar membaca. Pantas saja ketika saya membaca tulisan di Nextren maupun di buku karya beliau, pasti bukan sembarang tulisan, kecuali berdasarkan apa yang beliau pernah baca. Tulisan-tulisan beliau memberi saya pengetahuan baru karena tulisan beliau bagi saya itu “aktual”

Alhamdulillah, sejak kecil saya suka membaca dan kenal dengan buku. Hanya saja perlu pembiasaan lebih dalam membaca di media cetak, terutama buku yang berkualitas supaya pengetahuan saya bertambah luas. Dan, berkat kesukaan tersebut, banyak keuntungan yang saya peroleh seperti yang telah saya jelaskan di atas. gak ada ruginya!

Ayo, teman-teman! Daripada bengong dan gaul dengan teman gak jelas, ganti temannya dengan buku! Dijamin, buku tidak akan memperbudakmu, bahkan buku akan membimbingmu untuk menambah ilmumu untuk melakukan sesuatu!

Salam hangat dan sampai jumpa lagi!

Senin, 09 November 2015

Aku Ingin Jadi Penulis Seperti Kang Pepih!

November 09, 2015 Nahariyha Dewiwiddie



Salah satu isi buku Kompasiana Etalase Warga Biasa/Dokpri

Bergabungnya saya dan menulis di Kompasiana itu membuat saya penasaran tentang asal mulanya blog keroyokan terbesar di negeri ini. Tentunya, saya tidak puas tentang sejarah Kompasiana yang tercantum pada situsnya. Seketika saya akan mencari web yang banyak membahas tentang sejarah Kompasiana.

Lewat mesin pencari, saya menemukan banyak website dan blog yang membahas tentang sejarah Kompasiana, yang rata-rata pada bermuara pada satu buku: Kompasiana Etalase Warga Biasa. Sayangnya, penjelasan tersebut hanyalah sebuah resensi. Sehingga, jika ingin mengetahui secara keseluruhan, saya harus membelinya. Oiya, lewat resensi-resensi tersebut, saya mengetahui siapa pendiri Kompasiana itu, Kang Pepih Nugraha, wartawan harian Kompas.

Karena terbitnya pada tahun 2013, mustahil saya mendapatkannya di Toko Buku Gramedia. Padahal, saya baru mengetahuinya ya pada awal tahun ini. Terpaksa saya untuk memesan lewat Gramedia Online untuk yang kedua kalinya. Untungnya persediaan masih ada, alhamdulillah!

Bulan April, saya memesan buku tersebut dan saya membayarnya di Bank. Tidak sampai seminggu, saat saya menulis, tiba-tiba ada pesan yang menyuruh saya mengambilnya di kantor jasa pengiriman. Waah, saya tidak sabar untuk membacanya!

Membaca buku tersebut bagi saya membutuhkan waktu seharian. Soalnya, selain bahasanya yang enak dibaca dengan gaya penuturannya, rasa penasaran yang kuat terhadap Kompasiana itu membuat saya melahap habis buku karya beliau.

Nah, buku ini menceritakan bagaimana pergulatan Kang Pepih sebagai penulis buku ini dan pendiri Kompasiana dalam membangun dan membesarkan Kompasiana sebagai blog jurnalis pada mulanya, kemudian dibuka sebagai blog untuk umum pada tanggal 22 Oktober 2008. Tanggal itulah yang dijadikan sebagai tanggal lahirnya Kompasiana.

Ternyata, untuk membangun Kompasiana hingga menjadi besar seperti sekarang ini, tidaklah mudah. Dibutuhkan kesabaran dan perhitungan tingkat tinggi, termasuk ilmu marketing yang baik di dalamnya. Bahkan, dalam membangun blog keroyokan ini, sebutan Pepihsiana yang bernuansa olokan itu justru memotivasinya untuk membangun social blog yang luar biasa, tentunya setelah membaca buku yang membangkitkan semangatnya dalam mengurus blog Kompasiana ini. Dikemas dengan bahasa yang renyah, buku ini seolah-olah menceritakan dirinya dalam membangun blog Kompasiana sejak kelahirannya hingga memasuki usia kelimanya.

Oiya, tentang Kang Pepih itu, saya telah membacanya di beberapa artikel, termasuk di fanpage beliau Nulis bareng Pepih. Yang paling saya kagum adalah sejak kecil beliau gemar membaca sampai sekarang. Wah! Beliau juga sejak kecil gemar menulis sejak masih sekolah hingga kuliah, dan beberapa karyanya dimuat di berbagai media massa. Beliau pernah menuturkan pada salah satu statusnya, bahwa bakat menulisnya turun dari ayahandanya yang menulis dengan bahasa Sunda yang bagus.

Pantas saja karena gemar membaca dan menulis, apalagi setelah jadi jurnalis, kemampuan menulis kang Pepih semakin berkembang, malah tulisannya semakin kaya dan berbobot. Meskipun demikian, beliau tidak pelit dalam membagi ilmu menulis lewat fanpagenya.... salut... ^_^ Saya jadi terinspirasi jadi penulis sebagus Kang Pepih nih!

Jika Kompasianer Guru Ngeblog 2012, Omjay saja belajar lebih banyak menulis dari Kang Pepih, apalagi saya yang ‘masih bodoh’ dan hanya lulusan sekolah menengah. Saya perlu banyak latihan dan belajar menulis nih, supaya tulisan saya semakin berkualitas dan enak dibaca. Jangan lupa juga, perbanyak membaca, apalagi membaca buku! Hehe :D

Kang Pepih, saya belajar banyak ilmu menulis dari Anda, terima kasih atas ilmu dan pengabdiannya selama ini. Semoga Anda selalu sehat dalam berkarya dan mengelola Kompasiana tercinta ini, serta selalu berbagi dalam ilmu kepenulisan...

*Dituliskan untuk mengikuti Gramedia Blog Competition, November 2015


Minggu, 08 November 2015

Merasa Jenuh? Yuk, Jalan-jalan di Tempat yang Baru!

November 08, 2015 Nahariyha Dewiwiddie
Sumber gambar: popularmechanics.com

Kegiatan atau hobi yang kita jalani sehari-hari, jika dilakukan terus-menerus, lama-lama akan bosan, bukan? Nah, kalau dibiarkan terus, ya jadi tambah stress. Stress yang kita alami menyebabkan kita tidak bisa melakukan apapun, mau ngapain aja sudah malas, bahkan sudah setengah hati menjalaninya. Nah, kalau begitu, kita perlu apa?

Jalan-jalan? Yup, benar! Tapi, kalau udah berkunjung ke tempat yang lama saja masih belum menyegarkan pikiran, tandanya kamu harus berjalan-jalan di tempat yang baru!

Maksudnya apa? Ya tempat yang sama sekali belum kamu kunjungi, bahkan tempat tersebut sudah diimpikan seseorang sejak lama. Misalnya, mengunjungi toko buku terlengkap di luar kota. Atau, mengunjungi mall termewah yang ada. asyik! Kalau punya uang lebih, bisa berpelesir di pantai terindah yang tidak kalah indahnya dengan pantai Bali. Wow!

Tujuannya apa? Ya sudah jelas, cari pengalaman baru. Ketika kita jalan-jalan ke tempat yang belum pernah dikunjungi, kita harus melewati jalan yang masih asing, yang belum dilewati sebelumnya. Nah, pengalaman tersebut bisa dipakai untuk jalan-jalan lagi ketika kita akan mengunjungi tempat yang sama, maupun ke tempat lain.

Selain itu, dengan jalan-jalan ke tempat yang baru, kita  bisa melepaskan beban dan penat yang terdapat pada diri dan pikiran kita. Dengan demikian, kita akan menghadapi hari baru dengan suasana pikiran yang segar dan lebih ceria. Bahkan, ide-ide baru akan bermunculan di kepala kita, untuk berbuat sesuatu!

Nah, inilah yang dirasakan oleh saya. Setelah saya berkunjung ke tempat yang baru, apa yang terjadi? Gelisah karena beban hidup jadi lepas, bahkan ide-ide baru buat nulis datang lebih banyak, baik yang akan ditulis di blog ini dan di Kompasiana, tapi banyak ide-ide yang belum dieksekusi (nanti saya nyicil-nyicil dulu). Saya makin bersemangat lagi ikutan lomba blog, yang berhadiah voucher 1 juta untuk belanja di Gramedia. Ah, jadi kangen ke Gramedia deh, buat memborong buku banyak buat saya dan mama...


Jadi, kalau punya dana, segera berkunjung ke tempat yang baru. Kalau belum punya dana, kamu bisa main ke rumah di desa lain. Pastinya, suasana di desa lain berbeda dengan desa tempat tinggal kamu, atau bisa bersepeda keliling kampung. Pasti akan merasakan manfaatnya deh!

Salam hangat dan sampai jumpa lagi!

Sabtu, 07 November 2015

Andaikan Aku Seperti Hasna

November 07, 2015 Nahariyha Dewiwiddie
Sumber gambar: @dewiwiddie

Semenjak saya membeli buku Hijabo Comic, lewat Gramedia Online, bulan Juli tahun lalu, saya suka dengan cerita bergambar. Maklum, saya lebih enak kalau membaca dengan gaya visual. Maksudnya, ya lewat gambar gitu. Meskipun berbentuk komik, tapi ceritanya dikemas dengan bahasa yang gampang dipahami oleh para remaja, biar semakin teguh dalam keimanan.

Dalam komik ini, ada lho cerita yang bermacam-macam, yang mengandung hikmah yang mendalam. Disisipi oleh ayat Al-Qur’an dan hadits, menguatkan bahwa komik tersebut bukanlah komik islami sembarangan. Dalam cerita, tentunya ya sesuai yang dikandung pada dua sumber hukum Islam tersebut.

Dari semua tokoh-tokoh dalam Hijabo Comic, ada tokoh yang membuat saya terkesan. Ya, siapa lagi kalau bukan Hasna. Dia adalah seorang muslimah yang taat beragama. Dia melakukan hal-hal yang diperintahkan oleh Allah walaupun sebenarnya sepele.

Contohnya, mengenakan kaos kaki untuk menutup auratnya, misalnya. Dia tidak mau pacaran, bahkan dia menasihati Aji bahwa pacaran itu mendekati zina. Apalagi, saat malam tiba, Hasna dan teman-temannya rela berjalan kaki ketimbang naik angkot, padahal pada saat itu, angkot sedang sepi.

Oiya, disaat teman-temannya pada idolakan artis Korea, dia malah idolain Rasulullah yang membawa keteladanan. Wah, suatu hal yang seharusnya dicontoh bagi pemuda muslim nih!

Ya, berikut puisi saya untuk Hasna, semoga saya terinspirasi ya!

***

Oh, Hasna,
betapa cantik dirimu, lahir dan batin
menjaga marwah dan harga diri
sebagai muslimah sejati

Oh, Hasna
kau bukan remaja kebanyakan
yang bebas bercengkrama dengan lelaki
kaulah wanita yang baik

Oh, Hasna,
kau remaja taat
menjaga dari maksiat
berlandaskan perisai dienmu
menghadapi dunia yang hina

Oh, Hasna,
andaikan aku sepertimu
pasti aku akan muhasabah diri
tuk menggapai ridho Illahi


*Dituliskan untuk mengikuti Gramedia Blogger Competition bulan November 2015


Rabu, 04 November 2015

Passion adalah Sebuah Rasa Cinta

November 04, 2015 Nahariyha Dewiwiddie

Sumber gambar: mustbethistalltoride.com
Sebenarnya, adalah “tabu” bagi saya jika menuliskan tentang cinta. Pikir orang kebanyakan, cinta itu melibatkan sepasang insan. Benar, tapi cinta itu universal, melibatkan segala sesuatu.

Meskipun pada dasarnya saya suka membaca apa saja, toh pada akhirnya saya menyukai hal-hal tertentu. Media, membaca, menulis, pendidikan, motivasi, inspirasi, dan puisi, dan sedikit hal-hal lainnya. Hanya beberapa diantaranya yang merupakan passion saya.

Memang dulu sedari kecil saya suka pendidikan. Penyebabnya jelas, membaca. Membaca buku warisan dari sekolah kakak saya. Lucunya, kok sejak SD sudah tahu pelajaran bakteri, terutama bakteri Botulinum si perusak makanan kaleng? Padahal, pelajaran bakteri pada bab Monera akan diberikan ketika menginjak kelas 10 SMA (terutama masuk jurusan IPA)?

Ya, saya dulu suka pelajaran IPA, dan memang saya telah menjadi bagian dari alumni anak IPA. Saya jatuh cinta dengan pelajaran Kimia dan Biologi. Bahkan, saya ingin masuk jurusan Biologi biar menjadi peneliti. Tapi, keinginan saya kandas, karena zaman sekarang, dituntut agar bekerja dan menghasilkan uang.

Jadilah saya lari ke dunia kepenulisan. Sebenarnya, keterlibatan saya dalam menulis sudah dimulai sejak usia sekolah. Sejak SMP, saya suka menulis puisi. Berlanjut pada SMA yang bergabung pada kelompok KIR. Tapi, saya menulis bukan sebenar-benarnya menulis, tapi copy paste!

Setelah beberapa bulan belajar menulis di Kompasiana, saya merasa terbayang pada ‘dosa’ saya. Hal ini telah diceritakan pada artikel ini. saya merasa kapok untuk berbuat curang dalam menulis, dan saya lebih memilih menulis dengan pikiran sendiri, berdasarkan pengalaman dan apa yang saya baca. Tidak berani menulis berita dari berbagai sumber online, kecuali jika artikel yang dasar berita itu disertai dengan opini. Jika melakukan reportase langsung, itu lebih baik.

Kembali pada masalah membaca. Saya jika membaca tentang pendidikan, media massa, dan menulis, juga motivasi dan inspirasi, misalnya, saya terkadang mendalaminya dengan sangat mendalam. Apalagi puisi-puisi bagus. Saya merasa mendapatkan pengetahuan dan pencerahan setelah membacanya, itupun setelah membacanya berulang kali, atau dibuat bayangan dalam pikiran saya (maklum gaya belajar visual). Semua itu karena atas dasar passion. Passion itu adalah sebuah rasa cinta.

Sama jika kita memutuskan untuk memilih jurusan kuliah, jika pilihan kuliah yang diambil sesuai passion, ketika menjalaninya, kita akan nyaman. Inilah "kekuatan cinta" pada passion itu sendiri. Jika kita memutuskan sesuatu, kita tidak akan terlepas dari itu.

Oleh karena itu, tekunilah apa yang kita kerjakan sesuai passion itu. Sehingga, dampaknya akan terasa pada diri dan kehidupan kita.

Salam hangat dan sampai jumpa lagi!


Total Tayangan Halaman

Cari Blog Ini